Berada di Panti Asuhan Harapan Bunda, kami tinggal bersama beberapa anak-anak lain yang juga tak memiliki tempat bernaung. Alasan mereka ditempatkan di sini beraneka ragam. Tak kalah menyedihkan dari apa yang kualami. Salah satunya adalah Alta. Seorang anak yang hingga saat ini masih mengalami trauma akibat penyiksaan fisik serta psikis yang telah dialaminya.
Kudengar cerita dari teman-teman di panti bahwa Alta ditemukan oleh Bu Risma ketika dia sedang berusaha kabur dari rumah, karena tak tahan menerima perlakuan buruk dari ayah tirinya. Kasusnya pun sempat masuk berita dan sudah ditangani oleh pihak berwajib. Saat ini ayah tiri dan ibunya yang telah melakukan tindak kejahatan terhadapnya tengah menjalani hukuman di penjara.
Jam makan malam tiba, Bu Nita--salah seorang pengurus panti--memintaku mengajak Alta untuk ke ruang makan. Meski agak takut. Namun tetap kulakukan. Alta saat itu berjongkok di pojokan kamar sambil mengucap beberapa kalimat berulang-ulang.
“Ampun, Pak. Jangan! Ampun ... sakit.”
Aku mendekat. “A-Alta, kata Bu Nita disuruh ke ruang makan.”
“Ampun! Sakiiit ... panas, Pak.” Dia terus mengoceh tanpa menghiraukan kehadiranku.
Kusentuh bahunya. “Al, ayo, ke—”
“Jangaaan ... jangan siksa aku lagi. Jangan!” Tiba-tiba saja Alta mendorong, kemudian menindih tubuh sambil memukul wajahku.
Aku pun begitu terkejut dan sontak berteriak. "Aaaggg ... tolooong.”
“Aku ga mau disiksa lagi! Jangan pukul aku lagi!” Alta menyerangku secara membabi-buta.
“Bu Risma ... Bu Nita ... tolooong!” Aku tak dapat melawan karena tubuh Alta mengunci gerakan. Saat itu hanya mampu berteriak meminta bantuan.
Mulai kurasakan sakit di pipi dan beberapa bagian wajah lainnya akibat hantaman demi hantaman yang Alta lemparkan. Tiba-tiba seseorang menarik tubuh Alta menjauhiku.
“Alta! Jangan!” Bimo, salah seorang anak panti lain berusaha memisahkan.
“Aaaggg ... lepas! Kubunuh kamu, Pak. Kubunuh!”
Mata Alta melotot. Dia menatapku begitu tajam. Namun, seolah bukan diriku yang dipandangnya. Berkali-kali dia menyebut ‘Pak’ yang mungkin merupakan panggilan untuk ayah tirinya.
“Alta! Berhenti. Itu bukan bapakmu. Liat, itu anak panti lain sama sepertimu. Sadar!” Bimo memegang wajah Alta, dia berusaha meyakinkan bahwa aku bukanlah sosok bapaknya.
Masih berusaha berontak, Alta terlihat begitu marah. Bimo memeluknya. Semakin Alta berontak, anak yang usianya lebih tua empat tahun dariku itu mendekap Alta semakin erat.
“Aaaaggg ....” Gerakan Alta mulai melemah, dia pun menangis. Suaranya menggema di ruangan yang hanya ada beberapa ranjang kapuk berderet.
"Hei ... sini.” Bimo memanggil, dia memintaku mendekat.
Aku pun menggeleng karena masih takut akan menerima serangan lanjutan dari Alta. Namun, Bimo meyakinkan bahwa saat ini Alta sudah tenang.
“Gapapa. Dia udah tenang, kok.”
Melangkah perlahan, aku mendekat. Bimo memintaku untuk turut memeluk Alta. Masih bingung dengan apa tujuannya. Namun, aku tetap mengikuti perintah, mendekap anak lelaki yang masih berlinangan air mata itu.
Saat berpelukan, kurasakan tubuhnya gemetar. Suara tangis yang terdengar begitu pilu seolah menular. Entah atas sebab apa aku pun merasa ingin ikut menangis.
Bimo berkata, “Alta, ini Amar. Dia sama seperti kamu. Sama juga seperti aku. Kita anak-anak yang terbuang. Di sini kita semua bersaudara. Jangan saling menyakiti.”
Bertiga kami berpelukan. Tak tahu perasaan apa yang ada di hatiku saat itu. Sedih atau bahagia aku tak paham. Namun, rasa itu seolah mendorong mengalirnya air mata yang sejak tadi berusaha kutahan.
***
Bimo sering mengajakku menemani Alta, hingga kondisinya semakin membaik. Dia mulai mau bicara denganku, meski masih menutup diri dari anak lain. Kami pun menjadi akrab. Semakin dekat dengannya, aku merasa Alta merupakan anak yang baik, meski perilakunya terkadang kasar. Terlebih ketika ada orang yang mengganggu. Dia otimatis akan menciptakan tameng untuk diri sendiri dengan cara bertindak kasar terlebih dahulu.
Menurut Bimo, sikap Alta dipengaruhi oleh masa lalunya yang menyedihkan. Dia baru saja mengalami trauma dan butuh bantuan orang lain untuk membuatnya kembali pulih. Oleh karena itu, Bimo maupun Bu Risma selalu memintaku mengajak Alta bermain karena menurut mereka aku teman yang cocok untuknya.