Setelah Kepergian Ibu

Momo Shiny
Chapter #4

Bab 4. Merelakan

Menerima konsekuensi atas keputusan yang Bu Risma ambil, Panti Asuhan Harapan Ibu kehilangan donatur tetap. Tidak hanya itu, Pak Boby juga mengeluarkan seluruh anak-anak panti yang bersekolah di yayasan miliknya. Bu Risma sempat meminta bantuan ke berbagai lembaga agar Pak Boby tidak mengambil keputusan yang sangat merugikan kami. Namun, mereka tidak banyak menolong. Perintahnya selaku pemilik sekolah tersebut begitu bulat. Tak dapat diganggu gugat.

Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, kami tidak hanya bersedih karena kehilangan donatur dan dikeluarkan dari sekolah. Namun, juga harus rela melepas Bu Nita dan Bu Astri. Atas alasan kecewa dengan keputusan Bu Risma, Bu Nita mengundurkan diri dari panti. Dia bahkan mengambil tawaran kerja sama dengan Pak Boby. Hal itu semakin menyakiti perasaan kami, terutama Bu Risma. Lalu Bu Astri, dia mengatakan tak sanggup mengurus anak-anak panti bila tidak ada donatur.

Kini hanya Bu Risma yang dapat kami andalkan. Dialah satu-satunya orang tua yang tulus menerima anak-anak terbuang seperti kami.

***

Tidak lagi bersekolah, kami membantu Bu Risma mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berjualan kue basah yang dibuat oleh Sasa. Velly dan Kinan berkeliling dari rumah ke rumah untuk menemukan pembeli. Sedangkan aku dan Alta menjajakannya di lampu merah sambil terkadang kami mengamen. 

Bimo yang saat itu telah berusia empat belas tahun bekerja di sebuah pencucian mobil. Lalu anak-anak yang masih kecil, seperti Dinda, Adel, dan Tito hanya berdiam di rumah. Bu Risma pun mengajarkan mereka berbagai cara membantu pekerjaa rumah seperti menyapu, mengepel dan lain.

Keranjang kue telah kosong. Aku dan Alta berjalan berdampingan di trotoar sambil menghitung hasil dagangan.

“Laku semua. Kita hebat, ya,” ucap Alta.

Aku pun menimpali, “Iya, dong.”

Kami merasa bangga sudah menyelesaikan tugas membantu mencari nafkah untuk hari ini. 

Meski tidak turun hujan, langit sore itu mulai tampak mendung. Kami pun memutuskan untuk berlari menuju panti. 

“Ayo, nanti keburu hujan. Sayang kalo bajunya basah harus dicuci, sabunnya bisa cepet abis. Kita kan harus irit-irit kata Bu Risma.” Aku berlari lebih dulu.

Alta mengikuti. “Ayo, balapan.

Dia menyusul langkahku. Dengan cekatan aku pun mengejarnya. Kami berlarian sambil tertawa. Meski hidup serba kekurangan. Namun, aku merasa bahagia tinggal bersama teman-teman senasib seperti Alta dan lainnya. Mereka anak-anak baik yang selalu menjalankan nasihat Bu Risma, yaitu menjaga tali persaudaraan dengan saling tolong menolong. 

Tiba di depan gerbang kayu setinggi pinggangku, terlihat Dinda yang sedang mengibas-ibaskan gagang sapu dengan tangan mungilnya. Saat melihatku, dia pun melepas benda yang dipegangnya erat-erat itu, kemudian berlari menghampiri.

“Kak Amaaay ....”

Seperti biasa, tiap kali melihatku entah pulang dari mana saja Dinda selalu meminta digendong. 

“Dinda pinter. Udah bisa nyapu, ya?” tanyaku sambil menggendongnya.

“Bisa, dong. Dinda tadi cuci baju juga sama Tito. Telus tadi Tito pake sabun banyak-banyak. Kan halusnya dikit aja tapi Tito belum ngelti dikit itu semana jadinya ketuang semua, abis itu tumpah. Telus .... ” 

Adik kecilku yang kini telah berusia empat tahun bercerita tanpa jeda dengan bahasa yang masih belum beraturan. Aku pun hanya mendengarkan celotehnya, hingga Alta mengganggunya. Dia usil menggoda adikku yang memang agak manja. 

Dia meledek Dinda. “Ah, pasti itu yang numpahin Dinda, Bukan Tito. Dinda bohong, nih.”

“Dinda ga bohong!” Tak sedang dengan ucapan Alta, Dinda pun membentak.

Bukannya diam, Alta justru semakin semangat menggoda. “Dinda paling tadi Cuma tidur doang.”

“Dinda enggak! Dinda bantuian. Mas Amay, Dinda bantuin, kan?” tanya Dinda sambi cemberut.

Wajah mungilnya semakin tampak lucu ketika Dinda sedang kesal. Mungkin itu juga yang ada di pikiran Alta, hingga dia memainkan pipi adikku sambil terus menggodanya. Akhirnya Dinda pun menagis.

“Dinda ga suka Alta, Alta jahat! Kak Amay, Alta nakaaal ....”

“Alta, udah, ah. Godain anak kecil mulu sih kamu.” Kujauhkan Dinda dari Alta dengan menggendongnya masuk ke dalam panti.

Telah melewati pintu depan dan berada di ruang tamu, terlihat Bu Risma sedang berbincang dengan dua orang yang tidak kukenal. Aku pun menundukkan kepala sebagai tanda permisi melewati mereka. Berniat langsung masuk ke kamar karena takut mengganggu, Bu Risma justru mencegah.

“Amar, sini dulu. Duduk sini,” pinta Bu Risma.

Aku mengikuti perintah Bu Risma dengan duduk di sebelahnya.

“Ini kakaknya Dinda?” tanya perempuan paruh baya yang duduk di sebelah seorang pria. Keduanya terlihat seumuran.

 “Iya, saya kakaknya Dinda.” Sambil memangku Dinda yang belum juga berhenti menangis, aku menjawab dengan sopan.

“Dinda kenapa? Kok nangis? Sini sama Mama.” Perempuan itu mengambil Dinda dari pangkuanku, kemudian membelainya dengan lembut.

Sebenarnya ada tanda tanya di benakku, mengapa perempuan itu menyebut dirinya Mama?

Dia terus menimang-nimang adikku yang biasanya bila telah mengangis susah dibujuk kini terdiam. Bahkan dia tertawa menyaksikan candaan yang dibuat oleh perempuan itu.

“Dinda anak manis, ga boleh nangis. Kalo ga nangis nanti Mama beliin mainan yang baaanyak sekali,” bujuk perempuan itu.

“Benel? Nanti dibeliin mainan?” Dinda tampak begitu bersemangat ketika mendengar kata mainan.

“Iya, dong. Kan Mama sayang Dinda.” Dia mengecup pipi Dinda.

Entah mengapa perasaan sedikit tak enak. Seharusnya senang ada seseorang yang baik terhadap Dinda, tetapi aku justru tidak suka. 

Sejenak berpikir, mungkin karena baru kali ini ada orang asing yang begitu dekat dengannya, hingga cemburu menyusupi hatiku. Selama ini Dinda memang termasuk anak yang sulit didekati. Di panti saja dia selalu menempel padaku atau Bu Risma. Namun, sekarang dia justru terlihat begitu akrab dengan orang yang baru ditemuinya. 

Tangis Dinda kini berubah jadi tawa. Dia bahkan menyampaikan tentang berbagai hal ke perempuan itu sama seperti ketika dirinya bercerita padaku. Meski ada perasaan tak enak di hati. Namun, aku tetap bahagia melihat ikut bahagi melihat Dinda begitu riangnya. 

Jam di dinding menunjukkan pukul 05.30. Kedua tamu itu pun berpamitan. Aku yang sekitar lima belas menit telah ikut mendampingi mengobrol, turut mengantar mereka ke luar. 

Lihat selengkapnya