Celoteh Dinda yang biasanya terdengar begitu riang di panti ini tiada lagi. Sejak dia pergi, aku pun kehilangan semangat. Biasanya sebelum berangkat berjualan, Dinda mengecup pipiku dan berpesan agar cepat pulang. Kini semua hanya tinggal kenangan. Adik kecil yang sangat kusayangi tak ada lagi di sini.
Meski satu bulan telah berlalu sejak diadopsinya Dinda, kesedihan belum juga berhenti merundung hati ini. Tak ada semangat menuju ke panti, hingga aku selalu melangkah dengan gontai ketika hendak pulang. Alta yang berusaha terus berusaha menyemangati pun seringkali kuabaikan.
“Mar, liat. Ada mangga mateng di pohon itu. Kita petik, yuk.” Dia menunjuk ke arah buah mangga yang menggelantung di pohon.
Aku melihat ke arah yang ditunjuknya. “Jangan. Itu di dalam rumah orang.”
“Kamu kan pingin banget makan mangga. Aku petikin, deh.” Tiba-tiba saja Alta masuk ke halaman rumah orang, lalu memanjat pohon mangga.
Aku berusaha mencegahnya. “Al, jangan! Nanti dimarahin.”
Entah tak mendengar atau tidak menghiraukan perkataanku, Alta semakin tinggi memanjat pohon. Hingga tangannya berhasil menggapai buah mangga berwarna kuning matang.
“Yes! Dapet,” teriak Alta dari atas pohon sambil menunjukkan buah mangga yang kini telah ada dalam genggamannya.
Saat mencoba untuk turun, tiba-tiba saja terdengar suara anjing menggonggong. Doberman hitam berlari dari dalam rumah menuju pohon yang telah dipanjat Alta. Hewan itu terus mengeluarkan suara nyaring. Dia terlihat seperti sedang mengancam. Taringnya yang tajam terlihat jelas, dan itu membuatku tegang. Entah apa yang akan dilakukan binatang buas itu kepada Alta bila dia berhasil menerkamnya.
Aku pun mulai panik. “Al, gimana ini?”
Begitu juga dengan ekspresi yang Alta tunjukkan. Dia menunda gerakannya untuk turun. Tetap berpegangan pada dahan pohon dengan erat.
Anjing itu menggaruk-garuk pohon sambil terus menggonggong, seolah memerintah Alta agar cepat turun. Aku yang hanya mengamati dari luar gerbang semakin panik. Sedangkan Alta hanya dapat diam mematung.
Tak lama, terdengar suara dari dahan yang menjadi pijakan Alta.
Kreeek ....
Perlahan, posisi aman berubah menjadi mencekam. Dahan semakin koyak, hingga tiba-tiba saja.
PRAK!
"Aaaggg ...." Alt berteriak.
Dahan patah. Namun, belum sepenuhnya. Kini Alta bergelantungan dengan posisi tangan dan kaki di atas, sedangkan tubuh bagian belakangnya menghadap bumi.
Terlihat tak menyia-nyiakan kesempatan, Dobermen langsung saja menggigit celana yang dikenakan Alta. Anjing itu terus menarik-nariknya, hingga celana bagian bokong Alta robek.
"Aduh! Pantatku!" Dengan sebelah tangannya, dia berusaha menutupi bokong yang terpampang tanpa penutup.
Lagi-lagi Dobermen tak menyia-nyiakan kesempatan, dia mengigit tangan Alta.
“Aaaggg ....” Dia terlihat kesakitan.
Alta terjatuh, dan dalam sekejam telah menjadi target kebuasan Dobermen.
“Alta ....”
Tanpa pikir panjang, aku berusaha menolongnya. Kuambil ranting yang berserakan di bawah pohon, kemudian memukul-mukul binatang yang semakin buas menyerang Alta.
“Sana pergi! Hus! Hus!”
“Aaaggg ....” Alta menendang-nendang anjing itu. Namun, dia tak menghentikan serangannya sedikit pun.
Hingga tiba-tiba datang seorang pria dari dalam rumah.
“Dobi ... Dobi ... stop! Dobi.” Dia terlihat memerintah agar Dobermen yang masih asik mencari celah menyakiti Alta itu berhenti bertindak.
Terlihat patuh, anjing itu menghentikan aktivitas buasnya, lalu menghampiri seseorang yang kuduga adalah pemiliknya. Situasi pun mulai aman. Aku segera menghampiri Alta yang kini berlumur darah.
“Al, kamu gapapa?” tanyaku khawatir.
“Augh ... sakit.” Dia meringis, terlihat menahan sakit.
Pemilik anjing memasukkan hewan peliharaannya ke kandang, kemudian menghampiri kami. “Kamu gapapa?”
“Ga-gapapa, Om,” jawab Alta sambil memegangi lengan kirinya yang terkoyak.
“Masuk ke dalam dulu. Om obati.”
“Ga usah, Om. Kami pulang aja.” Alta menolak ajakannya.
“Ga bisa gitu. Meski anjing saya udah suntik rabies, tetep aja luka itu harus diobati. Ayo, masuk dulu.” Pria itu memaksa sambil menarik Alta menuju pintu, aku hanya mengikutinya.
Melangkah di belakang Alta, terlihat bokong Alta yang tanpa penutup karena celananya robek.
Aku pun berbisik, "Al, pantatmu keliatan."
Dia baru sadar. "Hah?! Ah, iya."
Segera dia membuka kaosnya, kemudian menutupi. Meski luka-luka dan darah di tubuhnya membuatku merasa kasian, tapi aku tak mampu menahan tawa ketika melihatnya bokongnya terpampang jelas.
"Jangan ngetawain!" bentak Alta.
"Iya iya ...." Aku pun berusaha menahan tawa.
Sambil mengobati luka-luka di tubuh Alta, pria berkulit putih bersih itu menanyakan berbagai hal pada kami.
“Kenapa kalian bisa sampe diserang anjing saya?”
“Ma-maaf, Om. Tadi saya mau mencuri mangga dari pohon yang di luar itu.” Sambil terus meringis ketika sedang diobati lukanya, Alta menyampaikan permintaan maaf.
“Kenapa mencuri?” tanya peria itu, terlihat sedikit kesal.
“Karena temen saya pingin banget makan mangga,” jawab Alta lirih.
“Kenapa harus mencuri? Kan beli juga bisa.”
“Kami ga punya uang untuk belinya, Om.”
Pria yang sedang serius mengobati luka Alta itu menghentikan gerakannya. Dia menatap kami secara bergantian. “Kalian tinggal di mana?”
Serempak kami menjawab, “Panti Asuhan Harapan Ibu.”
Sesaat terdiam, dia menuju ruangan lain di rumah ini, lalu kembali dengan membawa beberapa buah-buahan yang telah dikupas. Dia meminta aku dan Alta memakannya. Awalnya aku ragu, berbisik kepada Alta apakah sebaiknya menerima tawaran orang ini atau tidak. Namun, belum menjawab, Alta sudah mengambil dan memakannya terlebih dahulu. Aku yang hampir meneteskan liur ketika melihat beberapa irisan buah mangga matang pun akhirnya tergoda.
“Pelan-pelan, ini minumnya.” Lelaki itu sambil menyodorkan gelas berisi minuman berwarna merah transparan kepada kami.