Hantaman demi hantaman yang Alta layangkan ke samsak terdengar nyaring. Benda yang menjadi sasaran tinju itu pun terdorong menjauh dan kembali ke arah Alta dengan cepat. Peluh di kening sesekali melintasi garis muka Alta yang tegas. Sorot matanya tajam memandang sasaran. Tampak serius, dia seolah begitu menikmati apa yang sedang dilakukannya.
Sahabatku yang memang sejak awal begitu tertarik pada kick boxing, hingga saat ini masih begitu semangat berlatih. Berbeda denganku yang telah berhenti, karena menurut Om Rei tidak usah memaksakan diri bila tak minat. Meskipun tidak lagi menggelutinya, aku tetap mendampingi Alta. Setiap hari menunggunya berlatih hingga selesai.
Sambil menunggu, biasanya aku membaca buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan, dan yang selalu menarik minatku adalah segala informasi tentang tanaman.
Telah dua jam lamanya melakukan aktivitas yang menguras tenaga, Alta menghampiriku. “Udah selesai. Yuk, balik.”
Aku menutup buku yang sejak tadi menjadi teman setia. “Udah?”
“Udah,” jawab Alta sambil membasuh keringatnya dengan handuk kecil.
“Temenin ke perpustakaan dulu, ya? Balikin buku sama pinjem buku lagi,” pintaku.
“Iya.”
***
Mulai dari hobi hingga kepribadian, aku dengan Alta sangatlah bertolak belakang. Sahabatku itu menyukai hal-hal yang berkaitan dengan fisik, sedangkan aku lebih kepada kutu buku. Begitu pun dengan karakter. Alta begitu berani dan percaya diri, sedangkan aku cenderung pemalu. Meski demikian, ada hal-hal yang membuat kami tetap akrab. Mungkin karena sudah cukup banyak kejadian sulit yang telah kami lewati bersama. Tidak hanya sekadar dekat karena hubungan pertemanan, aku juga telah menganggapnya bagai saudara sendiri.
Satu tahun sudah Alta berlatih kick boxing di rumah Om Rei. Suatu hari, Om Rei mengajak kami ke sebuah klub kick boxing untuk menonton pertandingan bela diri tersebut. Bukan kejuaraan resmi, hanya latih tanding antara atlit yang satu dengan lainnya.
Seorang pria bertubuh kekar menghampiri Om Rei. Mereka terlihat seperti sudah saling kenal. Orang itu pun menyapa, “Hei, Rei. Siapa anak-anak ini?”
“Kenalin, ini Altara, calon juara dunia,” ucap Om Rei sambil menepuk-nepuk punggung Alta.
Pria itu mengepalkan tinjunya, memberi isyarat untuk melakukan tos. Alta pun menyambutnya dengan melakukan hal serupa. Begitu juga denganku.
“Ini?” tanya pria itu sambil menunjuk ke arahku.
“Ini asistennya,” jawab Om Rei.
Kembali pria itu menatap Alta. “Mau spearing? Lawan atlit junior di sini.”
Alta menatap Om Rei, seolah menunggu perintah darinya.
Om Rei pun berkata, “Tandingin aja, Jay.”
“Yuk! Naik ring,” perintah pria itu.
Usai bersiap-siap, Alta naik ke ring. Seorang anak lelaki yang lebih tinggi beberapa senti darinya telah menanti.
Pria yang meminta agar dirinya hanya dipanggil dengan sebutan Jay itu memperkenalkan mereka. “Alta, ini Sandro. Sandro, ini Alta.”
Jay mulai menyebutkan beberapa aturan tanding. Kedua anak yang terlihat telah siap beradu kemampuan kick boxing itu saling menatap tajam. Meski ini merupakan pertandingan pertama Alta, tak tampak sedikit pun ketakutan di wajahnya. Justru dia terlihat begitu bersemangat.
“Mulai!”
Decit suara kaki yang beradu dengan lantai ring terdengar pekak di telinga. Maju mundur langkah Alta sambil menghindari gerakan lawan. Sesekali dia mencoba melayangkan kepalan tinjunya. Namun, belum juga satu kali pun mengenai sasaran. Sebaliknya, telah beberapa kali pukulan, serta tendangan mendarat di tubuh Alta.
Aku yang hanya menyaksikan, mulai merasa tegang. Terlebih ketika melihat sahabatku tersudut oleh lawannya. Yang dapat kulakukan hanya berusaha menyemangati.
“Ayo, Alta ... lawan! Kamu pasti bisa!”
Alta yang sejak tadi hanya terlihat menerima dan menerima, setelah menerima teriakan semangat dariku seolah mulai berani. Hingga tinjunya mengenai sasaran untuk pertama kali. Senyum puas pun tertoreh di wajahnya.
“Bagus! Terus Alta ....” Semakin lantang aku menyemangatinya.
Tak hanya diam menerima serangan, Sandro pun semakin sering melemparkan tinjunya. Namun, kali ini terus-menerus Alta berhasil menghindar.
Alta semakin lincah bergerak, hingga membuat Om Rei tersenyum melihatnya.
“Good! Jab Alta! Jab!” Om Rei turut memberi semangat.
"Ayo, Altaaa ... kamu pasti bisa! " Aku terus meneriakkan kata-kata penyemangat.
Sedangkan Om Rei, dia mengucapkan beberapa kali instruksi. "Jump kick, Alta!"
Di pihak lain, tiba-tiba beberapa orang anak yang memakai atribut kick boxing turut menonton jalannya pertandingan.
“Sandrooo ... serang! Pake Uppercut andalanmu.” Mereka menyemangati Sandro.
Kini pertandingan terlihat imbang. Raut wajah Sandro mulai menunjukkan rasa kesal. Sebaliknya, Alta justru semakin bersemangat. Hingga beberapa kali serangannya mengenai sasaran. Dan terakhir, satu hantaman keras mengenai wajah Sandro, disusul tendangan telak membuat lawannya itu terdorong dan punggungnya menghantam tali ring, kemudian memantul hingga Sandro jatuh terjerembab ke lantai.
Jay memeriksanya, ternyata serangan terakhir Alta melukai batang hidung Sandro hingga mengeluarkan darah. Meski aku merasa ngeri melihatnya. Namun, sepertinya orang-orang di klub ini sudah menganggapnya sebagai hal yang biasa. Terlihat dari sikap mereka yang tanpa kepanikan.