Bel tanda kegiatan belajar mengajar berakhir telah berbunyi. Tak seperti siswa-siswi lain yang terkadang masih enggan keluar kelas untuk alasan yang kurang jelas, aku selalu sesegera mungkin menyelesaikan segala aktivitas di sekolah agar dapat cepat pulang. Ada beberapa anak yang menganggapku tidak asik, karena jarang sekali mau diajak main bersama. Namun, aku selalu memberi alasan yang masuk akal, hingga mereka memaklumi. Mereka tahu bahwa aku anak panti asuhan yang setiap harinya harus membantu mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup.
Sepulang sekolah, terkadang Alta sudah menunggu di depan pintu gerbang. Biasanya dia minta ditemani ke tempat berlatih maupun tiap kali ada jadwal pertandingan. Aku tak pernah menolak, karena tahu bagaimana usaha yang dilakukannya demi mencari uang untuk membiayai sekolahku.
***
Hari itu kami menuju lokasi pertandingan yang berjarak cukup jauh dari panti. Sebuah villa megah yang terletak lumayan jauh dari kota. Tiba di sana, petugas keamanan memberi instruksi agar kami masuk saja. Kami pun mengikuti arahannya. Setelah melewati pintu gerbang, terlihat bangunan bergaya klasik dengan berbagai realief di dindingnya. Suasana asri kota hujan seolah didukung oleh pepohonan dan tanaman-tanaman hias yang mengelilingi kediaman ini.
Aku begitu takjub melihat bangunan sebesar dan seindah ini. "Wah ... bagus banget rumahnya. Berapa ya kira-kira harganya?"
"Yang jelas jual gorengan dua puluh empat jam sehari ga bakalan kebeli juga," ledek Alta.
Aku pun menimpali sambil tertawa. "Jualan apa, dong, biar bisa kebeli?"
"Sini lepasin organ-organ kamu. Entar aku jual buat beli rumah newah. Terus aku yang nempatin hahaha ...." Alta berlarian sambil tertawa.
Aku pun mengikutinya. "Enak aja!"
Kami berjalan cukup jauh untuk dapat menginjakkan kaki di lantai bangunan. Marmer yang begitu bersih berkilau membuatku ragu menginjaknya.
"Ayo, masuk," ajak Alta.
"Eh, belom disuruh masuk." Aku berusaha mencegahnya. Meski pintu terbuka lebar, tapi tak ada seorang pun yang mempersilakan kami masuk.
"Tadi kata security kan di lantai paling atas. Kita cari aja." Alta masuk tanpa ragu.
Aku hanya mengikutinya. Menjejakkan langkah demi langkah di dalam bangunan ini, kekaguman pun terus bertambah. Terlebih saat menaiki anak tangga, pijakanku terpaku ketika melihat sebuah lukisan seorang gadis cantik berpenampilan anggun terpampang di dinding. Aku terpesona hingga tak berkedip menatapnya.
"Hei, buruan!" Alta yang terpisah beberapa anak tangga dariku memanggil.
"Oh, iya."
"Ngeliatin apa, sih?"
"Eh ... bukan apa-apa." Kusembunyikan dari Alta bahwa sesaat tadi aku seolah terbius oleh keindahan lukisan seorang gadis cantik di dinding, karena bila dia tahu, mungkin akan meledek.
***
Tiba di lantai teratas dari bangunan ini, mulai terdengar suara teriakan dari beberapa orang dewasa. Alta menarik tuas pintu. Ketika telah terbuka, pemandangan seperti biasa kami temukan dalam pertandingan kick boxing ilegal pun terlihat. Namun, ada yang beda. Di ruangan ini terdapat ring, hingga petarung terlihat lebih jelas. Suasana di sini pun terasa lebih serius. Begitu pula para penonton yang lebih banyak dari biasanya.
Masih hanya mengamati, tiba-tiba beberapa orang berbadan besar mendorong kami. "Minggir! Minggir!"
Mereka jelas merupakan para atlit kick boxing ilegal yang akan bertanding.
Saat hendak melangkah mendekati ring, seorang pria menyapa kami. "Kalian siapa?"
Alta menjawab, "Saya Alta. Tanding diminta Om Kenny."
"Kamu?" Pria itu bertanya padaku.
"Saya cuma nemenin Alta."
Pria yang mengenakan setelan jas hitam itu mendorongku keluar. "Kamu keluar. Di sini cuma petarung dan penonton yang bayar."
Aku pun protes, "Tapi biasanya boleh nemenin."
"Di sini ga boleh!" bentaknya sambil melotot.
"Udah, tunggu di luar aja." Alta seolah setuju dengan pria yang dari penampilannya kurasa adalah seorang pengawal pribadi.
Pasrah, aku pun hanya menunggu di depan pintu. Duduk di anak tangga teratas. Beberapa saat berdiam diri tanpa melakukan apa pun, aku memutuskan untuk sebentar melihat-lihat lagi isi bangunan. Meskipun tahu bahwa ini adalah tindakan tidak baik yang dilarang dalam norma kesopanan. Namun, rasa penasaran cukup menggoyahkan perilaku terpuji yang seharusnya kujaga.
Aku pun mulai melangkah. Saat menuruni anak tangga, kembali pandangan teralihkan ke lukisan di dinding yang menampilkan senyum memukau gadis cantik berambut panjang. Aku menoleh ke kanan kiri. Merasa tak ada orang di sekitar, aku mengucapkan beberapa patah kata ke lukisan yang seolah sedang menancapkan tatapannya ke arahku.
"Jangan liatin aku terus, dong. Aku kan jadi malu," ucapku seperti sedang berkomunikasi dengan seseorang.
Masih menatapnya, aku memuji gadis di lukisan itu. "Kamu cantik."
"Terima kasih."
"Aaaggg ...." Tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh suara seorang perempuan dari arah belakang. Otomatis terperanjat.
Aku memutar tubuh. Terlihat seorang perempuan sedang melingkarkan tangannya di tiang tepi anak tangga.
“Si-siapa kamu?!” Aku bingung mengapa dia berada di posisi itu.
“Tolongin, dong. Nanti aku jatuh,” pintanya.
Tak banyak berpikir karena melihat posisi gadis itu dalam bahaya, aku segera berinisiatif menolongnya. Kutarik tubuh rampingnya hingga menaiki titian tangga. Saat telah berhasil melewati, pijakannya justru goyah. Dia jatuh menimpa tubuhku hingga merebah di atas anak tangga.
Harum bunga gardenia perlahan menelusup ke indra penciumanku ketika rambut panjangnya terjuntai menyentuh lantai. Paras ayu gadis itu kini tepat berada di hadapan wajahku. Jantung pun mulai berdegup tak beraturan. Aku merasa sangat grogi karena belum pernah berada dalam posisi sedekat ini dengan lawan jenis.
“Maaf.” Gadis itu bangkit dan segera merapikan pakaiannya.
Aku turut berdiri.
Diiringi senyum manis, dia berucap, “Makasih, ya.”
“I-iya.”
Aku menjawab sambil menunduk. Sesekali melirik ke arahnya.
“Kamu siapa?”
“Kamu siapa?”