Tiga hari telah berlalu sejak Alta mengikuti pertandingan kick boxing ilegal yang telah mencederainya cukup parah. Kini dia terkapar di salah satu ranjang rumah sakit. Perban melilit di beberapa bagian tubuhnya. Plester pun menempel pada wajah yang lebam membiru di beberapa sisi.
Terkadang darah masih menetes dari hidung. Tiap kali itu terjadi, aku dengan sigap mengusapnya karena tangan Alta tak bisa digerakkan. Dia hanya dapat menoleh perlahan ke kanan dan ke kiri, serta mengucapkan kalimat-kalimat pendek.
“Amar, haus.” Dia meminta minum.
Aku pun segera mengarahkan sedotan ke mulutnya supaya dia dapat minum dengan mudah. “Pelan-pelan.”
Bu Risma dan anak-anak panti lain baru saja mengetahui bahwa selama ini Alta mengikuti pertandingan kick boxing ilegal. Begitu pun dengan Om Rei yang ketika kuberi tahu, tampak begitu kecewa. Dia mengatakan merasa gagal sebagai pelatih karena Alta mengindahkan larangannya. Terlebih ketika ternyata diam-diam dia sedang mempersiapkan Alta menjadi atlit yang akan dinaungi oleh sponsor resmi. Om Rei hanya sedang menunggu Alta hingga berusia tujuh belas tahun.
Kali ini aku merasa begitu bersalah pada Alta. Hanya kerena dirikulah dia kehilangan kesempatan meniti karir yang sejak lama telah diimpikannya. Meski dia hanya diam. Tak bereaksi dengan kata-kata. Namun, aku tahu dia pasti merasa sangat sedih ketika dokter mengatakan kemungkinan salah satu lengannya akan mengalami penurunan fungsi. Padahal lengan adalah bagian tubuh terpenting untuk bertanding kick boxing.
***
Hari itu, pria tua bersama beberapa orang lelaki dewasa menjenguk Alta di rumah sakit. Tak seperti mengunjungi orang sakit pada umumnya yang seharusnya menampilkan rasa kekhawatiran, pria itu justru menampakkan ekspresi yang begitu bengis. Aku masih ingat raut wajahnya ketika mengusir Alta dari villa megahnya. Tak jauh beda. Masih sama-sama tidak sedap dipandang.
Dia menatap Alta yang sedang tertidur lelap. “Gimana keadaannya?”
“Begitulah.”
Aku pun menjawab tak ramah. Juga enggan menatap wajahnya. Hanya sesekali melirik.
“Kamu yang namanya Amar?”
Mendengarnya menyebut namaku. Otomatis aku menatapnya. Berpikir, dari mana dia tahu namaku?
“Iya.” Singkat kujawab.
“Kalo bukan atas permintaan cucu saya, ga akan saya datang ke sini.”
Dia berucap sambil mendongakkan dagu, kemudian mengamati sekeliling ruang rawat inap yang terisi beberapa ranjang pasien lain. Kami memang hanya mampu mengeluarkan biaya untuk ruang rawat inap kelas terendah.
“Saya biayai seluruh kebutuhan pengobatan anak itu sampai sembuh,” ucap pria tua itu.
Aku merasa heran, mengapa tiba-tiba dia mengatakan akan menanggung biaya pengobatan Alta?
Belum sempat melontarkan pertanyaan, dia lebih dulu menjelaskan, “Amira mengancam akan terus berhenti minum obat hingga sakitnya makin parah. Dia mau minum obat lagi kalau saya membantu anak itu.”
Masih ada tanda tanya di benak. Namun, belum kukeluarkan. Aku hanya menunggu kata per kata yang pria tua itu ucapkan.
Pria tua itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya,--sebuah handphone--kemudian mengarahkannya padaku. “Kamu katakan melalui rekaman ini kalo anak itu baik-baik saja, dan saya telah menanggung seluruh biaya pengobatannya.”
“Maksudnya?” Aku masih bingung.
“Apa perlu saya ulangi?!” Tiba-tiba saja dia membentak.
Beberapa saat mengolah segala perkataan yang diucapkannya. Aku menyimpulkan bahwa dia melakukan semua ini atas permintaan Amira, dan dia tidak bisa menolak. Sebenarnya sebelum mengiyakan, aku perlu membicarakanya dengan Bu Risma atau Om Rei. Namun, pria tua itu memaksaku agar cepat memberi jawaban.
“Saya ga punya banyak waktu untuk berlama-lama di sini!” Kembali dia membentak.
Meski kesal, aku berusaha meredam emosi. Tak ingin membuat masalah. Alasan lainnya karena memikirkan kebaikan untuk Alta. Akhirya aku setuju menerima bantuan biaya pengobatan, serta membuat rekaman video untuk Amira.
Setelah mendapat apa yang diinginkannya, pria tua itu pergi meninggalkan ruangan begitu saja.
***
Sudah hampir dua minggu Alta menginap di rumah sakit. Kondisinya pun perlahan membaik, meski bagian terparah di tubuhnya--lengan--belum dapat berfungsi normal kembali.
Dokter telah mengizinkan Alta rawat jalan. Saat ini, Bu Risma dan anak-anak panti yang membantunya memulihkan diri. Dia tak diizinkan melakukan kegiatan yang menggunakan kekuatan fisik, dan hal itu diakuinya sangat menyiksa.
“Aaah ... sampe kapan begini?!” Alta terlihat kesal ketika hanya mengangkat galon saja dia tak mampu.
“Sabar. Nanti juga pulih lagi.”
“Tapi kapan?!” Tiba-tiba saja dia membentakku sambil menendang galon.
Aku tahu dia sedih, kesal, mungkin juga marah. Untuk itu tiap kali dia sedang meluapkan emosinya, aku hanya diam karena terselip rasa bersalah yang begitu besar padanya.
Sejak cedera membuat lengannya tak dapat berfungsi secara normal, Alta menjadi mudah sekali terpancing emosi. Aku pun tak dapat berbuat banyak untuknya. Bingung harus bersikap bagaimana.
Hari itu Alta minta ditemani ke tempat latihan kick boxing. Sampai di sana, dia segera menemui Om Rei. Namun, tidak berkata apa-apa. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.