Aku dan Alta bukannya tak menyadari bahaya bila kembali mendatangi villa di mana Amira berada. Namun, kami bertekad untuk tetap menerjangnya. Menurut Alta, menempuh bahaya adalah jalan lelaki. Aku pun setuju dengan pendapat itu.
Tiba di lokasi, kami tidak meminta izin kepada petugas keamanan untuk masuk seperti waktu pertama kali kemari. Melainkan mengendap-endap mencari celah untuk dapat menyusup. Ini kami lakukan karena merasa yakin bila meminta izin, hanya akan diusir.
Alta mempersiapkan tambang yang dibawa dari panti untuk memanjat tembok. Dia memberi pengait pada ujung tambang, lalu melemparkannya melintasi dinding agar tersangkut. Beberapa kali dilakukan, gagal. Namun, dia terlihat tidak menyerah. Masih terus mencoba, hingga akhirnya berhasil.
"Yes! Berhasil, nih. Nyangkut. Kita bisa manjat lewat sini."
Tak membuang banyak waktu, Alta bergegas memanjat dinding dengan berpegangan pada tali tambang. Aku pun mengikuti pergerakannya, meski tak selincah dirinya. Sampai di atas, terlihat Alta yang dengan sigap mengawasi sekeliling.
Dia menyuruhku agar segera lompat. "Cepet! Loncat aja."
Aku masih hanya mengikuti arahannya. Menjatuhkan diri ke rerumputan halaman dari atas tembok yang tingginya sekitar tiga meter.
"Ayo ...." Alta mengarahkan.
Kami melangkah sambil mengendap-endap menyusuri pinggir halaman, meski pada saat itu tidak terlihat seorang pun di sekitar. Telah menginjak lantai bangunan, kami mencoba menarik beberapa tuas pintu. Namun, semua terkunci. Begitu pula dengan jendela di lantai satu. Tidak ada celah yang kami tenukan. Tak patah semangat, kami terus mengelilingi bangunan untuk tetap mencari jalan masuk.
Beberapa saat melangkah, aku merasa mengenali wilayah yang saat ini menjadi pijakan kaki. Hamparan bunga gardenia putih menyerbakkan harumnya. Ini merupakan tempat yang pernah Amira tunjukkan ketika dia meminta bantuan untuk menyelamatkan anak burung.
Masih mengamati sekeliling, tiba-tiba Alta berbisik sambil menunjuk ke atas. "Eh, itu ada perempuan rambut panjang. Itu yang namanya Amira, bukan?"
Terlihat seorang gadis berambut panjang dari arah samping. Wajahnya tak terlihat jelas karena tertutupi mahkota hitam berkilaunya yang menghiasi kepala. Namun, aku menduga, itu Amira.
"Iya, itu dia."
Dengan suara lirih karena takut terdengar orang lain, aku memanggilnya. "Amira ...."
Diikuti oleh Alta. "Amira ...."
Beberapa kali memanggil, tak juga dia menoleh. Mungkin tidak mendengar, karena jarak dari lokasi kami berdiri dengan balkon di mana Amira berpijak cukup jauh.
Usaha kami terus memanggil Amira tak berhasil. Dia justru masuk ke dalam ruangan. Hingga tak tampak lagi sosoknya di balkon.
"Duh! Malah masuk lagi dia," keluh Alta.
"Gimana ini?" Aku pun bingung harus melakukan tindakan apa untuk dapat bicara dengan Amira.
Sejenak Alta terlihat sedang berpikir sambil mengamati sekeliling.
"Aku rasa di balik balkon itu kamar, deh." Alta berpendapat.
"Tau dari mana?" tanyaku, disertai tanda tanya di benak mengapa Alta berpendapat seperti itu.
"Biasanya kan yang ada balkonnya kamar." Dia menjelaskan.
"Terus emang kenapa kalo itu kamar?"
"Ya artinya Amira ada di ruangan itu. Kamu manjat aja. Aku awasi dari sini. Gampang, kan? Tinggal pegangan ornamen-ornamen di dinding itu?" Alta melanjutkan penjelasannya sambil mengarahkan.
Aku mengamati apa yang Alta tunjuk. "Iya, sih. Ya, udah. Aku manjat. Kamu?"
"Aku ngawasin sekeliling."
Bergegas aku memanjat dinding tanpa alat bantu apa pun. Hanya berpegangan pada lekuk-lekuk ornamen yang membentuk tonjolan. Saat ini aku sedang memanfaatkan keahlian memanjat pohon seperti yang sering kulakukan bersama Alta sejak masa kecil. Cukup mudah aku melakukannya. Hingga tiba di balkon di mana Amira tadi berdiri.
Aku memandang ke bawah, Alta pun terlihat menginstruksikan agar aku segera masuk. Diiringi sedikit rasa takut, kusentuh tuas pintu, kemudian memutar dan menariknya. Tidak seperti gagang pintu di lantai satu yang semua terkunci, kali ini tidak. Aku dapat membukanya dan perlahan melangkahkan kaki untuk masuk.
Satu langkah melewati pintu, terlihat Amira yang hampir berteriak ketika melihatku.
"Psstt ...." Segera kuberi instruksi agar dia diam.
"Amira, ini aku, Amar."
"A-Amar?" Dia tampak terkejut.
"Iya, jangan bersuara." Masih aku mengingatkannya agar tidak memancing orang lain untuk mendatangi ruangan ini.
"Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Amira masih tampak bingung.
Aku pun bingung harus menjelaskan mulai dari mana. "A-aku ...."
"Kakek tau kamu di sini?"
"Enggak. Makanya jangan sampe ketauan. Aku sembunyi-sembunyi sampe sini." Melangkah aku mendekatinya.
"Kenapa sembunyi-sembunyi?"
"Karena pasti ga boleh."
Kini kami berdiri berhadapan. Terlihat jelas wajah cantik Amira yang sama seperti pertama kali kulihat. Hanya saja, entah mengapa kali ini dia tampak lebih kuyu.
Kembali dia bartanya, "Kenapa kamu ke sini?"
"A-aku ... aku cuma pingin tau keadaanmu. Terakhir waktu kakekmu datang nemuin aku. Dia bilang kamu sakit. Aku khawatir." Aku berkata sambil mengalihkan pandangan ke beberapa sisi ruangan karena sedikit grogi berhadapan langsung dengannya.
Tersenyum, dia berkata, "Kamu mengkhawatirkan aku?"
Entah mengapa aku menjadi semakin salah tingkah melihat senyumnya. "Eh ... itu."