Setelah Kepergian Ibu

Momo Shiny
Chapter #11

Bab 11. Langkah

Kicau burung dalam sangkar terus mengingatkanku pada Amira. Meski banyak bicara dan terkadang begitu berisik, tapi aku senang berada di dekatnya. Kini tak dapat lagi kudengar celotehnya. Senyum ceria serta tawa renyah Amira hanya akan menjadi kenangan. Kebersamaan kami memang terbilang singkat. Namun, cukup mampu membuatku berlarut-larut dalam kesedihan karena kehilangan.

"Hei, masih merenung aja." Alta menyapa.

Aku membalas dengan senyum simpul. Sejak tadi aku memang hanya termenung memandangi dua ekor burung Kenari titipan Amira. Rasanya tak ada semangat untuk berkegiatan.

"Hari ini aku tanding. Temenin, yuk."

Ucapan Alta mengejutkanku. "Kamu kan belum pulih. Kok udah tanding lagi?!"

"Udah mendinganlah. Diawasi Om Rei, kok. Temenin, ya. Daripada bengang bengong doang di rumah." Dia merangkul bahuku.

Luka dan cedera di tubuh Alta mulai pulih. Dia pun lebih tekun berlatih kick boxing. Tidak main-main seperti sebelumnya. Dengan arahan penuh dari Om Rei, Alta benar-benar dididik menjadi seorang atlit. Aku turut bahagia melihat Alta begitu bersemangat, terlebih ketika dia memperoleh kemenangan demi kemenangan.

Alta telah memiliki arah hidup yang jelas. Sedangkan aku, aku masih bingung, setelah lulus SMP akan bagaimana. Yang jelas, aku harus mencari kerja tetap supaya tidak lagi bergantung pada Alta dan Bu Risma.

Setelah lulus SMP, rencananya aku tidak akan melanjutkan sekolah. Aku ingin lebih mandiri. Namun, lagi-lagi Alta, Bimo, bahkan Bu Risma menyayangkan. Mereka memaksa agar aku tetap bersekolah. Mereka selalu mengatakan bahwa otak encerku harus terus dikembangkan, dan semua mau membantu mengatasi masalah biaya. Sesungguhnya sangat tidak enak terus-menerus menerima bantuan. Namun, aku pun kesulitan untuk menolak. Semua berharap banyak aku dapat menjadi orang sukses di masa depan. Menyingkirkan perasaan tak enak, akhirnya aku pun melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah atas, masih dengan menerima bantuan dari saudara-saudara sepanti.

Tahun demi tahun berganti. Aku menjalani kehidupan SMA tanpa hambatan. Sedikit kerikil-kerikil menganggu. Namun, tidak terlalu sulit diatasi. Mungkin dapat dikatakan ini adalah tiga tahun teraman dalam hidupku.

Tiba waktunya ujian kelulusan. Aku pun tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan berbagai soal. Aku merasa percaya diri ketika menjawab soal demi soal.

Sesuai harapan, nilai ujianku terbilang bagus. Terutama mata pelajaran matematika dan kimia. Saat menyerahkan ijazah, kepala sekolah menyarankan agar aku melanjutkan kuliah di jurusan Kedokteran atau MIPA. Menurutnya, sayang bila tidak dilanjutkan. Aku hanya mengiyakan. Namun, pada kenyataanya, aku tak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah.

Alta, bahkan Bimo sempat membujukku untuk melanjutkan kuliah. Mereka mengatakan akan membantu biaya pendidikan. Namun, kali ini benar-benar kutolak. Tak ingin lagi menjadi beban bagi siapa pun, aku merasa harus mulai mandiri.

Mencari pekerjaan ke sana ke mari dengan berbekal ijazah SMA, akhirnya aku diterima di sebuah rumah sakit sebagai cleaning service. Lokasi tempat kerja cukup jauh, jadi aku tinggal di mes yang disediakan untuk para petugas kebersihan. Meskipun harus menempati kamar yang berisi beberapa orang, aku tidak keberatan. Aku pikir, lumayan dapat memangkas biaya hidup. Dengan begini aku tidak perlu membayar uang kost.

Berbeda denganku yang masih merangkak ketika bertahan hidup, Alta kini semakin berhasil. Dia pun tak lagi kesulitan memperoleh uang. Sebagian besar penghasilannya digunakan untuk membantu pengobatan Bu Risma dan biaya hidup anak-anak panti. Sayangnya, sejak jauh dariku dia mulai sedikit tak terkontrol. Terkadang ikut mabuk-mabukan bersama teman-temannya yang tidak kukenal. Aku memang masih sering menasehatinya. Namun, entah didengar atau tidak. Dia selalu membela diri dengan jawaban, cuma sekali-sekali.

Dua tahun bekerja dan sudah mampu mengumpulkan uang, aku memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan farmasi. Bidang yang selama ini sangat kusukai. Aku memang sangat suka mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan tanaman herbal dan berbagai jenis obat-obatan, karena itu mengingatkan pada Nenek dan Ibu. Semasa hidup, Nenek merupakan penjual jamu dan Ibu meracik bahan-bahan tradisional menjadi obat-obatan herbal. Mempelajari apa yang disukai Nenek dan Ibu membuatku jadi merasa dekat dengan mereka.

Diterima di salah satu perguruan tinggi di kota Jakarta, aku pun mulai kuliah sambil bekerja. Aku harus pintar-pintar membagi waktu antara bekerja dan kuliah. Lumayan menguras tenaga dan pikiran. Namun, aku tetap semangat, tak ingin kalah dari Alta yang saat ini telah lumayan dikenal namanya sebagai atlit kick boxing. Beberapa kali dia tampil di layar kaca, bahkan sempat ditawari menjadi model iklan salah satu produk.

Secara fisik, Alta memang tumbuh menjadi pemuda yang lumayan tampan. Tubuhnya juga atletis. Kulit cokelat membuatnya semakin tampak maskulin. Meski dikenal dan cukup banyak gadis-gadis yang mengidolakannya. Namun, Alta justru belum pernah menjalin hubungan cinta. Belum pernah aku mendengar cerita dirinya sedang dekat dengan seorang gadis. Saat libur, dia mengaku lebih senang mengunjungiku. Dia pun memintaku mengontrak rumah, agar lebih nyaman bila ingin berkunjung. Sesekali dia menginap, bahkan kadang hingga berhari-hari bila sedang tidak ada jadwal tanding.

Seperti biasa, saat libur dia menemuiku. Usai makan di salah satu restoran, kami berjalan di trotoar sambil berbincang. Dia bercerita mengenai kegiatan sehari-harinya. Persis seperti saat kami masih kecil. Alta bercerita dengan begitu semangat, sedangkan aku lebih banyak mendengarkan.

Sedang asik berbincang sambil bercanda, tiba-tiba aku menabrak seseorang. "Aduh, maaf maaf, Pak. Ga sengaja."

Seorang pria lusuh terjatuh. Aku pun segera membantunya bangkit.

"Maaf, Pak. Saya ga sengaja."

Dia hanya mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya.

Mengamatinya, entah mengapa aku seperti mengenali pria tua itu. Wajahnya terasa tak asing buatku.

"Al, orang itu kayak ga asing, deh."

"Bapak-bapak mah emang banyak yang mirip."Alta menimpali sambil melanjutkan langkah yang sempat ikut terhenti.

"Tapi ... beneran kayak pernah liat. Di mana, ya?"

Lihat selengkapnya