Pria tua yang kuduga adalah ayah asuh Dinda terus berteriak sambil berusaha menggapai. Alta mendekap tubuhnya dari belakang dengan erat. Dia menahan gerakan pria yang seperti ingin menerkamku. Saat itu, tak banyak yang dapat kulakukan. Hanya berusaha menenangkan dengan meyakinkan bahwa aku tidak ada maksud buruk terhadapnya.
Tak lama kemudian, orang mulai berkerumun dan beberapa petugas keamaan menghampiri. Mereka turut menenangkan bapak tua itu, kemudian menggiring kami ke pos polisi terdekat. Aku dan Alta hanya mengikuti arahan.
Beberapa saat diajak bicara oleh petugas kepolisian, pria tua itu mulai tenang. Dia pun menyebutkan alasan mengapa begitu geram mendengar nama Dinda. Sambil terisak, dia menceritakan kejadian beberapa tahun lalu, ketika anak yang diasuhnya membakar habis seisi rumah. Dalam peristiwa itu, istri serta asisten rumah tangganya menjadi korban. Mereka meninggal dunia.
Setelah kepergian istrinya, pria itu mengaku sempat depresi, hingga seluruh pekerjaannya terbengkalai. Dia pun dipecat dan mulai kehilangan semangat hidup. Kini dia hanya menjadi seorang pengemis. Sesekali raut wajahnya menunjukkan kesedihan, tapi beberapa saat kemudian dia terlihat marah. Terutama ketika menyebut nama Dinda. Dia juga berulang kali mengatakan menyesal telah mengadopsi Dinda.
Tak percaya rasanya mendengar cerita dari ayah asuh Dinda. Aku kira selama ini hidup Dinda baik-baik saja. Dia bahagia dicintai orang tua asuh yang baik dan berada. Nyatanya justru dia mengalami kejadian yang tak pernah kubayangkan.
"Al, apa benar Dinda melakukan itu? Rasanya aku ga bisa percaya."
"Kita cari tau dulu lebih jelasnya. Kita ke pengadilan yang menangani kasusnya."
Ingin mengetahui lebih jelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi, kami segera menyusuri satu demi satu pihak-pihak yang mungkin dapat memberikan informasi. Kami mendatangi kantor polisi, hingga pengadilan yang sempat menangangi kasus tersebut.
Setelah bertanya ke sana ke mari, kami memperoleh informasi bahwa Dinda pernah masuk penjara anak untuk kasus yang digugat ayah asuhnya. Peristiwa itu terjadi ketika Dinda masih berusia tiga belas tahun. Tuntutan yang diajukan kepadanya adalah tindakan pembunuhan terhadap ibu asuhnya.
Menurut keterangan dari penuntut--ayah asuh Dinda--berkaitan dengan kronologis kejadiannya, Dinda sempat meminta agar diizinkan untuk menghabiskan malam minggu bersama teman-temannya. Namun, ibu asuh melarang dan justru mengurung dia di kamar selama beberapa hari. Pengurungan itu membuat Dinda marah. Hingga ketika ada kesempatan, Dinda mengundang teman-temannya datang ke rumah. Dinda juga sempat mabuk-mabukkan bersama teman-teman yang menurut ayah asuhnya terlihat seperti preman. Ibu asuhnya memergoki, terjadilah pertengkaran malam itu, hingga ketika ayah asuhnya menyusul ke kamar Dinda, ternyata kamar tersebut telah penuh kobaran api. Dinda berhasil kabur melalui jendela. Namun, istrinya terbakar hidup-hidup. Api pun menjalar ke seluruh bangunan hingga menyambar ke beberapa rumah tetangga. Beruntungnya, meski mengalami luka bakar yang cukup serius di bagian bahu dan lengan, nyawa ayah asuh Dinda selamat.
Setelah peristiwa yang merenggut nyawa istrinya, ayah asuh Dinda segera menuntut tindakan pidana terhadap Dinda, dan dia pun dijebloskan ke penjara anak selama tiga tahun. Begitu penjelasan dari dinas sosial yang sempat membantu meminta keringanan hukuman atas apa yang dilakukan oleh Dinda.
Empat tahun telah berlalu setelah kejadian itu. Dinda telah bebas, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya saat ini.
"Gimana kita bisa menemukan dia, Al? Ga ada clue sama sekali di mana keberadaannya." Aku begitu bingung, tak tahu lagi bagaimana cara menemukan adikku.
Alta pun terlihat bingung. "Emm ... gimana, ya."
"Tapi kita harus menemukannya. Aku ga akan bisa hidup tenang kalo tau adikku entah gimana keadaannya sekarang." Meski tak tahu caranya, aku tetap bersikeras untuk menemukan Dinda.
"Gimana kalo kita tanya-tanya temennya yang di penjara. Mungkin sempet ada komunikasi antara mereka. Atau kita cari tau dari teman-teman premannya yang tiga tahun lalu itu."
"Bisa juga."
Alta memberi instruksi, "Ya udah. Aku coba tanya-tanya, menelusur temennya yang dulu-dulu. Kamu tanya-tanya ke penjara. Bisa?"
"Iya."
Kami kembali melakukan pencarian. Menelusur seorang demi seorang yang mungkin mengenal Dinda.
Pada masa pencarian, pekerjaan serta kuliahku sempat terganggu. Aku tidak dapat fokus belajar, yang terpikirkan hanyalah keadaan Dinda. Meski sudah begitu lama tak bertemu dengannya, dan aku pun tidak tahu bagaimana fisik serta sifatnya saat ini. Mungkin dia juga sudah tidak lagi mengingatku. Namun, aku tetap mengkhawatirkannya. Dia adik yang harus kupastikan keadaannya.
***
Cukup lama mencari, tak juga membuahkan hasil. Bahkan teman-teman Dinda yang Alta tanyai mengaku tidak mengenalnya. Ada beberapa orang di penjara yang kutemui dan mengaku mengenal Dinda. Namun, tak seorang pun yang mengetahui keberadaannya setelah keluar dari penjara.
Kesekian kali mengunjungi penjara dan bertanya ke beberapa orang, tetap tidak ada informasi yang kubawa pulang. Aku mulai kehilangan semangat.
Aku duduk termenung di luar lapas, ada seseorang yang menghampiriku, lalu beramah-tamah. "Nemuin siapa, Mas? Keliatannya belakangan sering banget bolak balik ke sini."