Satu demi satu, kutelusuri tempat-tempat yang dirujuk oleh Bang Jaya--petugas kebersihan yang kutemui di lapas. Aku telah bertanya ke beberapa orang secara acak. Namun, yang kuperoleh hanyalah sedikit informasi. Ada yang mengatakan mengenal Tante Silva, tetapi dia mengaku sudah cukup lama tidak bertemu dengannya. Aku sempat meminta alamat Tante Silva, dan dia hanya menunjukkan lokasi terakhir kali melihatnya.
Kami menuju lokasi yang diarahkan oleh orang yang mengaku mengenal Tante Silva. Sebuah salon kecantikan yang berada di pinggir kota.
Tiba di lokasi, Alta melangkah lebih dulu. Dia membuka pintu secara perlahan. "Permisi ...."
Perempuan berpakaian minim, dengan riasan yang terlihat tebal menghampiri. "Hei, ganteng ... mau pijit?"
Dia memandangi Alta dari ujung rambut hingga ujung kaki, kemudian menyentuh dada bidangnya dengan gerakan-gerakan menggoda. Wajah Alta pun mendadak terlihat tegang, terlebih ketika beberapa perempuan lainnya turut menghampiri.
"Duuuh ... ganteng ...." Perempuan-perempuan itu mengelilingi Alta.
Mengamati dan berpikir sejenak, aku baru sadar ternyata mereka bukan perempuan, tetapi waria. Dalam hati aku bersyukur, untung Alta yang masuk duluan. Aku segera mundur perlahan untuk menghindari para waria itu. Namun, salah seorangnya justru memergoki dan langsung menarik, serta menggiringgku masuk.
"Ih, ini ganteng satu lagi mau kemenong?" Dia mencubit pinggangku.
"Aduh, aduh, Mba. Jangan!" Aku berusaha menghindar.
"Mba?! Yeay kira kita emba emba?" Bukannya berhenti, mereka justru terus menggoda sambil tertawa-tawa genit.
"Ih, imyut ... deh kamu!" Dia mencubit pipiku.
Aku terjepit. Rasanya seperti berada di sarang serigala. Bergidig dan tegang. Jantung berdebar tak beraturan. Padahal mereka bukan binatang buas atau makhluk berbahaya. Namun, entah mengapa rasanya takut. Terlebih ketika mereka tak henti menggoda dan menggerayangi tubuhku.
Aku menoleh ke arah Alta. Pemuda yang biasanya begitu gagah mengalahkan lawan-lawan tandingnya di arena kick boxing, saat ini justru terlihat seperti seekor tikus yang ketakutan. Wajahnya tampak tegang dan mulai pucat. Sama sepertiku, dia pun mencoba menghindari sentuhan-sentuhan nakal para waria yang sepertinya begitu mengagumi otot-otot tubuhnya.
"Ini tipe eke banget ... ototnya .... Ganteng, mau ya jadi pacar eke?"
"Aduh, Mba. Jangan, Mba. Geli. Aduh." Alta menurunkan kaos yang ditarik-tarik oleh para waria yang berusaha mengintip perutnya.
"Liat dikit, dong ...." Mereka terus menggoda.
"Aduh, jangan. Malu, Mba," cegah Alta sambil mencengkeram kaosnya agar tak tertarik ke atas.
Berbeda dengan perilaku terhadap Alta, para waria itu mencubit-cubit pipiku, sambil berucap, "Ih, gemes. Kamu manis, deh ...."
Kami hanya mampu menghindari gerakan-gerakan nakal para waria itu tanpa dapat melawan. Bila yang melakukannya lelaki tulen, mungkin Alta sudah melayangkan tinjunya. Kali ini tidak. Dia justru tak dapat berkutik. Baru kali ini aku melihat Alta begitu tak berdaya.
Godaan para waria tiba-tiba terhenti ketika seseorang muncul.
"Hei! Hei! Ada tamu malah digodain!" bentaknya.
"Eh, iya Ratu ... iya Ratu ... iya Ratu ...."
"Aduh Ratu ... ngagetin!"
Serentak para waria itu pun berhenti. Beberapa di antaranya latah ketika terdengar suara nada tinggi.
"Abis mereka cucok meong banget Ratu. Yang satu ganteng sexi, yang satunya maniiis .... Jarang-jarang ada yang seger gini mampir. Kan kita jadi melek." Mereka menanggapi sambil tertawa.
Seseorang yang kuduga juga merupakan waria menghampiri kami. "Maaf, ini pegawai-pegawai saya emang kecentilan."
Dari sikapnya, dia tidak semenakutkan waria lainnya. Dia juga terlihat lebih berumur.
"Mau perawatan apa?" Dia bertanya dengan ramah.
Langsung saja kuutarakan tujuanku datang ke mari. "Eh, sebenarnya bukan mau perawatan."
"Oo ... mau fly?"
"Hah?" Aku bingung dengan ucapanya.
"Barang lagi kosong sekarang. Dua hari lagi baru ada."
Aku tak mengerti apa maksud ucapannya. Berusaha fokus pada tujuan, aku memperjelas apa yang menjadi alasan mendatangi salon ini. "Eh, sebenernya saya--"
"DP dulu sini. Udah susah nyari barang sekarang. Ga DP ga dapet." Dia menengadahkan tangan.
"Maaf, saya ga ngerti."
Dia mengernyitkan dahi. "Mau ganja, kan?"
"Apa?!" Semakin bingung aku dibuatnya.
"Sabu?"
"Hah?! Enggak enggak! Bukan itu tujuan kami ke sini." Seketika aku panik ketika dia menyebut nama jenis obat-obatan terlarang.
Bukan hanya waria yang ada di hadapanku, semua waria kini menatapku. Tatapan mereka seperti mempertanyakan sesuatu.
"Kalo bukan keduanya, terus mau apa?" Kembali waria di hadapanku bertanya.
"Saya nyari seseorang."