Setelah Kepergian Ibu

Momo Shiny
Chapter #14

Bab 14. Pertemuan Kembali

Pencarian Dinda tertunda. Aku maupun Alta fokus mengobati luka-luka yang kami terima ketika melawan para pria suruhan orang yang mempekerjakan Dinda. Pada awalnya, aku berniat menyembunyikan perihal Dinda dari Bu Risma karena tak ingin membuatnya khawatir. Namun, akibat perkelahian yang terjadi, dan sepertinya situasi Dinda begitu rumit, akhirnya kami memutuskan untuk menyampaikan kepada Bu Risma dan Bimo. Ingin agar mereka tahu apa yang dialami Dinda selama ini.

Benar dugaanku, Bu Risma syok. Dia terlihat begitu sedih mengetahui apa yang terjadi dengan Dinda setelah diadopsi. Rasa bersalah tak bisa dielakkan. Itu terlihat dari berulang kali dia meminta maaf padaku karena telah melepas Dinda untuk diadopsi.

Bimo dan beberapa anak-anak yang masih mengingat Dinda menawarkan diri untuk membantu menemukan Dinda. Namun, aku melarang keras. Mengingat bagaimana perlakuan para preman yang telah menghabisiku dan Alta. Aku tak ingin membahayakan lebih banyak orang yang kusayang.

Saat ini, Alta pun menanggung akibat yang cukup membuatku merasa bersalah. Dia kena tegur dan menerima pencabutan jadwal tanding dari pihak manajemen kick boxing yang mengontraknya. Alasannya, karena dia mengindahkan larangan menghindari masalah yang berujung melukai asetnya untuk bertanding. Pihak manajemen tak ingin mengambil resiko kekalahan, mengingat kondisi fisiknya saat ini.

Meski santai seperti biasa, tetapi apa yang harus diterimanya membuatku benar-benar tak enak hati. Hingga aku berniat tidak ingin lagi melibatkan Alta. Tanpa sepengetahuannya, aku melakukan pencarian Dinda sendiri.

Setelah satu bulan lebih tanpa usaha, hari itu aku memutuskan untuk kembali mengunjungi club malam yang menurut Ratu Silva merupakan tempat kerja sekaligus tempat tinggal Dinda. Aku hanya mengintai dari luar club karena masih takut apabila salah seorang anak buah pemilik club mengenaliku. Selain itu, saat ini aku juga sendiri, tanpa didampingi Alta. Ketegangan pun rasanya berkali-kali lipat.

Lumayan lama aku hanya mengamati dari kejauhan tanpa berani mendekat, hingga tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. "Hei ...."

"Ngapain lu dari tadi maju mundur aja? Mau masuk? Ayo, masuk." Pemuda berperawakan tinggi kurus dengan banyak tindik serta tato di tubuhnya mengajakku masuk ke club malam.

"Eh, enggak. Lagi nunggu orang," jawabku berbohong.

Mendekatkan wajahnya, dia bertanya, "Nyari barang?"

"Hah?" Aku bingung apa maksudnya.

"Pil atau sabu?"

"Ah, enggak enggak ... saya ga nyari narkoba." Aku mengibaskan tangan di depan dada.

Dia merangkulku, kemudian menyodorkan beberapa butir pil berwarna putih. "Ada barang baru, nih? Mau coba ga?"

"Enggak, Bang. Saya ga nyari itu." Aku berusaha melepaskan diri dari rangkulannya.

Namun, dia memaksa. "Udah ambil aja. Gua kasih diskon. Lagi susah nih nyari barang gini. Untung lu."

"Aduh, enggak, Bang. Saya bukan pemakai. Saya-"

"Tiga ratus aja." Dia memotong kata-kataku. Lalu tanpa izin, dia memasukkan benda itu ke kantong celanaku.

Tak dapat berkutik, aku hanya mengikuti kemauannya. Mencoba mencari aman karena takut bila terjadi persinggungan seperti ketika dihadapkan dengan pria-pria brutal bulan lalu.

"Tiga lima ratus?" Dia menengadahkan tangan.

Dengan terpaksa aku mengeluarkan sejumlah uang yang dimintanya. Setelah menerima, dia berlari ke arah club malam. Beberapa meter di depanku, dia menoleh, mengangkat tangannya sambil berkata, "Ayo, masuk. Gua kenalin sama temen-temen gua."

Mendengar ajakannya, aku berpikir mungkin ini kesempatan. Masuk ke club malam bersamanya bisa kujadikan alasan sebagai ajakan kalau saja pemilik club maupun anak buahnya mengenali dan mengusirku lagi.

"Bang ... tunggu, Bang. Saya ikut." Aku berlari mengikuti langkahnya.

Tiba di dalam, aku mencoba lebih tenang. Tidak menggebu-gebu bertanya ke sana ke mari seperti sebelumnya. Aku mengamati sambil hanya mengikuti langkah pria bertato yang mengajak masuk itu.

Dia menghampiri beberapa orang, menyapa mereka, kemudian memperkenalkanku. "Woy, kenalin, nih ... siapa nama lu?"

"Amar." Aku menjawab seperlunya.

Mereka hanya menyapa dengan mengangkat sebelah tangan. Tanpa menyebutkan nama.

Salah seorangnya bertanya, "Siapa dia?"

Pria bertato itu menjawab, "Calon pelanggan baru gua."

Aku hanya melemparkan senyum simpul. Meski dalam hati berkata, aku bukan pemakai!

Dia kembali merangkulku, kemudian memperkenalkan diri. "Amar, gua Bojes."

Aku hanya duduk sambil menyaksikan Bojes berbincang dan tertawa dengan teman-temannya. Kuperhatikan, sepertinya mereka berusia dua puluhan. Mungkin seumuran denganku atau tak jauh terpaut usia. Tidak masuk dalam obrolan karena topiknya tidak kupahami, aku mulai kembali pada tujuan awal datang kemari, yaitu pencarian. Aku mengedarkan pandangan, mencoba mencari sosok gadis yang mungkin adalah Dinda.

Melihat ke sekeliling, aku baru sadar kalau ternyata tak tahu sama sekali penampakan Dinda saar seperti apa. Hanya sebuah nama yang menjadi peganganku. Berpikir sejenak, meski kemungkinan dia tahu tak banyak, aku mencoba bertanya ke Bojes.

Aku mendekatkan bibir ke telinganya. "Bojes, kenal perempuan namanya Dinda ga?"

Musik yang begitu gaduh membuat Bojes tak jelas mendengar pertanyaanku. Dia pun memastikan apa yang kutanyakan. "Siapa?"

Aku meninggikan nada suara. "Dinda!"

"Siapa itu? Ga kenal." Sesuai dugaan, Bojes tidak tahu.

"Lu nyari cewek? Banyak yang cakep. Kalo mau gua kenalin."

Ah, enggak enggak. Ga nyari." Secepatnya aku menolak.

Bojes menunjuk. "Noh liat, si Vero. Cantik, ya? Dia bintangnya di sini."

Aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Seorang perempuan muda berambut panjang bergelombang menari-nari erotis di atas meja. Bukannya senang, itu justru membuatku sangat risih.

"Cakep, kan?" tanya Bojes.

Lihat selengkapnya