Kutatap dalam-dalam adikku yang masih mengalirkan air mata di pipinya. Dinda kecil yang dulu begitu manja padaku, kini dia telah tumbuh menjadi gadis berparas cantik. Rasa haru, juga bahagia hadir dalam keheningan malam itu. Kerinduan yang tertahan selama belasan tahun lamanya, kini tercurah sudah.
Belum sempat banyak berbincang, tiba-tiba beberapa orang pria melangkah cepat menghampiri kami. Mereka meneriakkan, "Verooo ...!"
Dinda menoleh, kemudian kembali menatapku. "Kak Amar, aku harus kerja."
"Verooo ... ngapain di sana?!" panggil salah seorang pria berjaket kulit hitam yang masih melangkah ke arah kami.
Dinda memelukku. "Aku sangat bahagia bisa ketemu lagi sama Kak Amar."
"Kakak juga." Aku membalas pelukannya.
"Vero! Ga denger apa?!" bentak pria berbadan tegap yang kini berada tepat di belakang Dinda.
Dia menarik tangan Dinda dengan kasar. "Sini!"
Melihat perlakuannya, hal itu membuatku geram. "Hei, apa-apaan?!"
Pria-pria yang kini berada di sekitar kami memasang tampang bengis. Mereka menarik Dinda, serta mendorongku agar mundur.
Aku hendak melindungi Dinda dengan menarik tangannya, tapi dia justru mencegah dengan menggelengkan kepala. Tatapannya sendu. Seolah sedang mengisyaratkan sesuatu. Aku memang paham, pria-pria itu tidak mengizinkannya bertemu denganku atas suruhan bosnya. Namun, rasanya seperti pengecut yang membiarkan adik sendiri diperlakukan sekasar itu.
Tak dapat berbuat banyak, aku terpaksa membiarkan Dinda pergi. Seorang pria mendorongnya dengan kasar. "Cepet!"
Rasanya ingin kuhajar mereka. Geram, tak terima adikku diperlakukan seperti itu. Aku diam sesaat. Mencoba menahan amarah. Namun, rasanya emosi tak juga mau pergi. aku benar-benar tidak rela melihat Dinda didorong-dorong, dibentak, serta dilontarkan kata-kata umpatan.
Hendak mengejar, tapi Alta menarik lenganku. "Mau babak belur lagi?"
"Tapi mereka—"
"Udahlah ... kita pikirkan gimana cara menemui Dinda lagi." Dia memotong kata-kataku.
Pasrah, aku hanya mengikuti perintah Alta.
***
Aku memutuskan meminta bantuan Bojes, mengingat bahwa dia merupakan teman Dinda yang dikenalnya sebagai Veronica. Aku menghubungi nomor ponsel yang sempat diberikan Bojes, dan mengajaknya bertemu di salah satu restoran cepat saji. Aku datang seorang diri, karena Alta sedang ada pekerjaan. Dia mengatakan akan menyusul setelahnya.
Bojes tak tahu apa tujuanku mengajaknya bertemu. Dia pikir aku ingin membeli barang haram darinya. "Mau berapa?"
"Enggak, saya bukan mau beli."
Dia menatap heran. "Terus?"
Aku mulai menyampaikan alasan mengajaknya bertemu. Beberapa kali meyakinkan bahwa aku adalah kakak dari Vero, Bojes tak percaya. Dia bahkan menganggapku becanda.
"Ga percaya gua. Masa sih elu kakaknya Vero. Kayak di film-film aja. Adek kakak ga ketemu belasan tahun." Dia meledek.
"Bener! Kalo ga percaya, temui Vero."
"Hmm ... kalo emang bener elu kakaknya Vero, buat apa nemuin gua? Temuin aja dia."
"Saya mau minta tolong."
Kuceritakan detail kejadian yang kualami selama mencari Dinda, termasuk ketika dihajar oleh anak buah pemilik club malam. Mendengar apa yang kusampaikan, dia terlihat sedikit mulai percaya. Dia menyimak sambil memeriksa bekas luka di tubuhku yang belum sepenuhnya pulih. Aku juga menyampaikan tidak dapat lapor polisi, karena memikirkan kemungkinan keterlibatan Dinda dalam peredaran narkoba.
"Jadi ini luka-luka karena dihajar anak buahnya Bang Jack?" tanya Bojes.
"Bang Jack?"
"Pemilik club malam itu namanya Bang Jack." Dia memberi informasi.
"Iya."
Disela-sela perbincangan, Alta datang. Dia duduk di sebelahku.
Aku pun langsung memperkenalkannya kepada Bojes. "Ini Alta. Kalo masih ga percaya, saya dihajar habis-habisan sama anak buah Bang Jack itu bareng Alta. Tanya aja dia."
Bojes menatap Alta sambil mengernyitkan dahi. "Kayak kenal. Siapa, ya?"
Alta tak menjawab, dia malah mengambil minumanku dan menenggaknya. Begitu cuek sikapnya.
"Al, dia ga percaya kalo—"
"Altara, ya?! Atlit kick boxing?!" Bojes memotong perkataanku. Dia menerka siapa Alta.