Setelah Kepergian Ibu

Momo Shiny
Chapter #16

Bab 16. Tak Lagi Sama

Di ujung lelap tidurku, samar terdengar suara gaduh. Mencoba mengabaikan, tetapi semakin lama suara itu semakin mengganggu. Setengah kesadaranku mencoba meraba, apa sih berisik banget?

Kubuka dengan paksa kelopak mata yang masih ingin mengatup. Perlahan aku bangun, duduk di atas ranjang, kemudian bangkit untuk mencari sumber suara yang mengganggu lelap tidurku. Melangkah menuju ruang depan, terlihat Dinda yang sedang berdiri di balik pintu. Dia seperti sedang menahan dorongan dari arah luar pintu.

"Dinda, ngapain?"

"Vero! Buka! Gua tau elu ada disitu! Cepet buka!"

Terdengar suara seorang pria yang begitu nyaring, diiringi bunyi benturan-benturan keras dari arah depan.

Mendadak aku bingung, disertai panik. "Dinda, siapa itu?"

Dinda tak menjawab, dia hanya terus menahan pintu.

"Vero! Keluar, lu!"

Seseorang di luar sepertinya sedang mencari Dinda. Berkali-kali dia terdengar menyebut namanya dengan kencang.

"Dinda, siapa itu di luar?"

Aku melangkah cepat menuju jendela, lalu sedikit mengintip ke arah luar. Terlihat seorang pria sedang menggedor-gedor pintu. Di belakangnya, tetanggaku berkerumun. Raut wajah mereka menunjukkan tanda tanya. Mungkin sama sepertiku, bingung mengenai apa yang sedang terjadi.

Mendekati Dinda, aku kembali melontarkan pertanyaan yang sejak tadi tidak dijawabnya. Kali ini dengan meninggikan nada suara. "Dinda! Siapa itu?!"

"Bukan siapa-siapa, Kak."

Dinda menjawab tanpa menatap ke arahku. Dia terlihat sedang berusaha keras menahan pintu yang hampir terdorong ke dalam. Seiring bunyi benturan yang tak henti-hentinya memekakkan telinga, pinggir pintu pun perlahan mulai menganga.

"Kalo bukan siapa-siapa, kenapa manggil-manggil nama kamu?!" Aku membentaknya.

"Itu-"

BRAK!

Tiba-tiba saja pintu terdobrak, hingga membuat Dinda yang sejak tadi berada di balik pintu terjatuh.

"Dasar maling! Balikin dompet gua!"

Pria berbadan besar, tinggi tegap langsung menjambak rambut panjang Dinda.

"Aaaggg ...." Dinda terlihat kesakitan.

"Hei! Apa-apaan ini, Bang?!" Aku berusaha melepaskan cengkeraman tangan pria itu dari rambut Dinda.

"Jangan ikut campur, lu!" Dia membentakku.

Dinda mengeluh karena jambakan pada rambutnya terlihat semakin kencang. "Aduh, sakit ...."

Pria itu menengadahkan wajah Dinda, lalu bicara dengan lantang. "Balikin dompet gua!"

"Ga sama saya, Bang," ucap Dinda sambil meringis kesakitan.

Aku masih mencoba membantunnya. Namun, cengkeraman pria itu terlalu kencang, hingga sepertinya usahaku tidak membantu. Aku hanya mencoba menenangkannya.

"Bang, sabar dulu. Ada masalah apa sebenernya?" Aku bertanya sambil berusaha menarik tangannya yang masih menggenggam rambut Dinda.

"Dia nyuri dompet gua!"

Aku menatap Dinda.

"Mana dompet gua?! Balikin cepet!"

"Udah ga sama saya, Bang. Saya buang di jalanan," jawab Dinda.

Mendengar pengakuan Dinda yang benar melakukan tindakan buruk yang merugikan pria itu, aku mendadak kesal. Ingin tetap menolong, bahkan membela, tapi rasanya tidak benar karena dia telah melakukan kesalahan. Lagi pula, sepertinya upayaku menenangkan pria itu tak akan membuahkan hasil. Dia terlihat begitu geram dan mengancam.

"Berani-beraninya lu, Vero!"

"Maaf, Bang. Jangan gini, dong. Sakit ...." Dinda meronta.

Merasa tak membantu, aku memutuskan keluar rumah untuk memanggil bantuan. Kupanggil para tetangga dan meminta salah seorangnya memanggil Pak RT setempat. Aku mengatakan bahwa ada orang kasar yang masuk ke rumah dan mengancam keselamatan adikku.

Tak lama, mereka pun berdatangan, lalu meminta pria itu menghentikan tindakan kasarnya terhadap Dinda. Awalnya dia menolak dan masih marah-marah. Dia juga sempat meminta semua pergi. Namun, setelah Pak RT datang, dia mulai sedikit tenang.

Kami mulai membahas masalah apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dengan Dinda. Bicara sambil menunduk, Dinda mengaku bahwa semalam dirinya memang mencuri dompet pria itu. Dia memakai uangnya untuk membeli minuman keras. Lalu ketika sudah mabuk, tanpa disadari dia seperti membuang dompet milik pria itu.

"Lu ga tau di dompet itu ada foto kenangan gua sama istri gua yang udah meninggal. Tinggal satu-satunya kenangan itu! Sekarang gua kehilangan!" bentak pria itu.

"Maaf, Bang," ucap Dinda lirih. Dia menempel ke lengan kananku. Seperti mencari perlindungan.

Mendengar permasalahan yang terjadi, Pak RT menyarankan agar kami segera mencari dompet itu di lokasi hilangnya. Dia juga mengatakan sebaiknya lapor polisi berkaitan dengan kehilangan, mungkin akan mendapat bantuan dari aparat. Aku mengiyakan, tetapi pria itu tidak langsung menyetujui. Dia mengatakan tidak yakin kami dapat menemukannya.

"Kami coba cari dulu ya, Bang. Kami cari sekarang juga."

"Kalo ga ketemu gimana?!"

"Itu-"

Lihat selengkapnya