Beberapa bulan telah berlalu. Hari demi hari, efek candu narkoba di tubuh Dinda mulai berkurang. Dia sudah tidak terlalu sering menggaruk kulitnya, juga mulai jarang memuntahkan makanan. Wajahnya pun sudah tidak sepucat ketika pertama kali aku mengetahui bahwa dirinya sakaw.
Aku merasa, masalah kecanduan sudah lumayan teratasi. Kini aku mulai menjalankan langkah selanjutnya, yaitu menyembuhkan berbagai penyakit yang muncul akibat kecanduan narkoba. Tidak hanya sakit pada tubuhnya, melainkan juga pada psikisnya. Efek narkoba memang tidak hanya akan merusak tubuh. Sistem saraf di otak juga akan terganggu, dan itu menimbulkan perubahan sikap pecandu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dinda sendiri, meski aku tak tahu bagaimana perilaku dia setelah diasuh oleh Bu Linda. Namun, yang kutahu, saat ini dia merupakan gadis remaja yang cenderung impulsif. Ketika mengambil tindakan, dia tidak memikirkan efek baik buruknya tertebih dahulu. Untuk itu, rasanya aku perlu memberi arahan kepadanya.
Pengobatan berbahan dasar sirsak mulai kuhentikan. Saat ini aku lebih sering memberinya racikan ramuan herbal yang berbahan dasar madu alami. Menurut informasi yang kuterima, madu alami mengandung vitamin B dalam jumlah besar, dan itu berkhasiat untuk membakar sisa-sisa narkoba dalam tubuh pecandu. Proses penyembuhan terjadi karena larutan sugar fruktosa—gula buah-buahan—pada madu dapat mempengaruhi alkohol dan narkoba. Meskipun efektifitas madu terbilang lambat. Namun, aku mempercayai hasil yang akan dirasakan. Selain itu, yang utama adalah tidak adanya efek samping yang berat.
Selain madu, aku juga menggunakan bahan-bahan tambahan seperti, kayumanis yang berfungsi sebagai aromatik, brotowali yang bermanfaat untuk melancarkan meridian, serta temulawak yang berguna untuk membersihkan darah. Untuk mengatasi depresi dan sulit tidurnya, aku memberi Dinda rebusan daun seledri.
Di bulan ketiga pengobatan mandiri, aku tak lagi meminta atau mengingatkan Dinda untuk mengonsumsi segala ramuan herbalnya. Dia sudah inisiatif sendiri, bahkan terkadang membantuku meraciknya.
Saat ini Dinda sudah mulai terlihat seperti gadis normal. Dia pun mulai merawat diri. Rambutnya yang semula begitu kusam, kini selalu tertata rapi. Tetangga juga mengakui perubahan Dinda. Bahkan terkadang dia membantu Bu Mega—tetangga sebelah—yang sedang kekurangan pegawai untuk usaha catering pernikahan yang dijalankannya.
Hari itu, Dinda meminta izin untuk ikut Bu Mega mengurus catering di salah satu pesta pernikahan kerabatnya. Awalnya aku mencegah, karena masih ragu apakah Dinda sudah cukup sehat untuk beraktivitas jauh dari rumah. Apalagi lokasinya cukup jauh, dan dia perlu menginap. Namun, setelah Bu Mega ikut meminta, akhirnya kuizinkan.
"Biar aja dia cari kegiatan. Lagipula perginya juga sama Ibu, kamu tenang ajalah," bujuk Amar."
Aku pun mengiyakan, sambil menasehati, "Ya udah, tapi jangan macam-macam, ya. Bawa ramuan herbalnya. Jangan sampe terlewat minum."
Bergelagat manja dengan menggandeng lenganku, dia mengiyakan. "Iya, Kak Amay ...."
Dinda mulai terus dipekerjakan oleh Bu Mega. Dia juga digaji. Bu Mega pun mulai menyukai Dinda, bahkan sangat menyukainya, hingga berniat menjodohkannya dengan salah seorang ponakannya.
"Amar, ponakan Ibu itu udah usia tiga puluhan belum juga mau nikah. Kemarin waktu ketemu Dinda di acara pernikahan itu, dia bilang langsung tertarik sama Dinda. Ibu pingin deh jodohin Dinda sama Faris, ponakan ibu," ucapnya diiringi senyum sumringah.
Aku sebenarnya tidak ingin membahas ini. "Tapi Dinda kan baru delapan belas tahun, Bu. Mansih terlalu muda untuk—"
"Delapan belas ya udah gede. Ibu aja dulu nikah umur tujuh belas. Jarang-jarang ada kesempatan gini. Faris suka banget sama Dinda. Dia punya kerjaan bagus, orangnya juga baik, penyayang. Dinda pasti bahagia nikah sama Faris." Dia terus membujuk.
Aku tak lagi menimpalinya. Bingung harus bereaksi bagaimana. Terlebih, aku tidak tahu siapa Faris. Aku tidak tahu bagaimana tampangnya, sifatnya, serta hal lainnya berkaitan dengan jati diri pria tersebut. Dinda sama sekali tidak pernah cerita. Aku bahkan baru mendengar dari Bu Mega, bahwa ada seorang pria yang menyukai Dinda sampai ingin menikahinya.
Sedang santai sambil menonton televisi, aku membuka obrolan. "Dinda, Faris itu siapa?"
Dia menoleh, nama yang kusebut seperti terdengar asing baginya. "Siapa, Kak?"
Kusebut ulang. "Faris."
"Faris? Ga tau," jawabnya singkat.
Aku mendadak bingung. "Lho, kok ga tau? Kata Bu Mega, Faris itu mau nikahin kamu."
"Hah?!" Bukannya menjelaskan apa yang tidak kuketahui, dia jutru terlihat lebih bingung dariku.
Melihatnya seperti tidak tahu apa-apa, aku pun mulai menceritakan apa yang Bu Mega sampaikan berkaitan dengan seorang pria bernama Faris.
Usai kuceritakan, dia seperti baru ingat. "Oo ... yang itu."
"Inget?"
"Iya. Baik sih orangnya, tapi ga pernah tu dia bilang suka sama aku."