Setelah Kepergian Ibu

Momo Shiny
Chapter #20

Bab 20. Bagai Kucing dan Anjing

Kemenangan Alta—meski bukan menjadi juara dunia—ketika beberapa kali tanding dalam pertandingan One Championship membuatnya semakin sibuk. Mulai banyak tawaran berbagai jenis pekerjaan untuknya. Mengisi acara talkshow, menjadi bintang iklan, pemotretan untuk poster, juga jadwal pertandingan yang semakin padat. Namun, meski jadwalnya padat, Alta selalu menyempatkan diri untuk mengunjungiku. Kadang hanya beberapa menit menanyakan kabar, lalu pergi lagi. Aku sempat mengatakan bila ingin tahu kabarku, tetapi dia sibuk, tidak perlu datang pun tak apa. Cukup berkomunikasi melalui handphone. Namun, dia mengatakan, beda rasanya ketika mengetahui kabar melalu sarana, dengan melihat kondisiku dan Dinda secara langsung.

Melihat Alta yang semakin bersinar, aku merasa termotivasi. Ingin juga sukses seperti dirinya. Aku belajar lebih giat, juga selalu menawarkan bantuan kepada orang-orang yang kukenal. Dokter Arman sempat mengatakan bahwa dia mengagumi semangatku. Di saat pegawai lain ingin agar tidak banyak tugas yang diterima, aku justru sering meminta diberi pekerjaan tambahan.

Di rumah, aku juga melakukan berbagai penelitian mandiri. Menciptakan berbagai jenis obat berdasarkan ilmu yang kupelajari dari pendidikan farmasi. Aku menyatukan bahan-bahan herbal dengan unsur-unsur kimia.

Alta dan Dinda seperti kelinci percobaan untuk menguji coba ramuan-ramuan yang kuciptakan. Aku tidak meminta. Namun, mereka menawarkan sendiri untuk mencoba.

"Dinda! Cepet keluar! Gantian!" teriak Alta di Depan pintu toilet.

"Nantiii ...." Dinda menjawab sambil berteriak.

"Cepeeet ...." Alta terus menggedor-gedor pintu.

"Ke tetangga aja sana!" Bukannya buru-buru keluar, Dinda justru meminta Alta untuk mencari alternatif lain.

"Dasar betina!" Alta terlihat kesal. Dia pun pergi, lalu menggedor pintu tetanggaku. Mungkin ingin meminta izin untuk menggunakan toilet.

Sejak meminum ramuan yang gagal kuciptakan, Alta dan Dinda terus mules-mules. Memang beberapa ramuan yang kuciptakan justru membuat penyakit, meski tidak fatal. Apa yang kuolah tidak melulu berhasil. Terlebih ketika mulai menggunakan bahan-bahan yang mengandung bahan kimia.

Kegagalan yang kualami adalah ketika menyatukan bahan herbal dengan bahan kimia. Aku ingin menciptakan ramuan dalam bentuk tablet atau serbuk dengan bantuan bahan kimia agar lebih mudah dikonsumsi, serta mengharapkan tingkat keawetan yang lebih lama. Rencananya aku ingin memproduksi sendiri obat-obatan herbal. Namun, apa yang kuolah belum juga dapat berhasil dengan mulus.

Dinda keluar dari toilet, dia menghampiriku yang sedang berkutat dengan beberapa tanaman herbal, serta beberapa jenis bahan kimia.

"Kak, udah jadi belom penangkal mulesnya?" keluh Dinda sambil memegangi perut.

"Udah, ni coba minum." Kusodorkan secangkir ramuan yang terbuat dari daun jambu biji, kapulaga, dan kunyit.

Jambu biji dipercaya dapat mengatasi keluhan sering buang air besar. Sedangkan kapulaga dan kunyit bermanfaat untuk meredakan sakit perut melilit. Aku mencoba membuat ramuan itu untuk mengatasi sakit perut yang sedang diderita Alta dan Dinda.

Baru hendak menerimanya, tiba-tiba Alta menyerobot. "Saya dulu!"

"Ih, aku dulu tau! Sini ...." Dinda berusaha menggapainya.

Bukannya mengalah dari gadis belia yang terpaut usia enam tahun darinya, Alta justru langsung menenggak ramuan yang kubuat. Sontak itu membuat Dinda protes.

"Ih ... nyebelin banget, sih!" Dinda memukuli dada Alta yang bidang.

Pemuda berbadan tinggi tegap itu malah meledeknya dengan menjulurkan lidah, sambil melontarkan kata-kata yang mungkin tidak enak didengar Dinda. "Jangan dikasih obatnya, Mar. Biar aja dia ngedekem di toilet sana."

Terlihat masih ingin membalas ejekan Alta, tetapi tiba-tiba Dinda meringis. "Aduh aduh ... mules lagi ...."

Sambil memegangi perutnya, Dinda bergegas kembali masuk ke toilet. Alta melanjutkan ledekannya di depan pintu toilet. Dibalas dengan ejekan balik oleh Dinda.

***

Adik dan sahabatku memang tidak pernah bisa akur. Mereka seperti anjing dan kucing. Sepulang dari Bangkok, dalam perjalanan mereka pun terus saja bertengkar. Bercerita tentang berbagai hal sambil saling menyalahkan. Meski sering saling mengejek, aku yakin mereka juga saling menyayangi. Mengingat bagaimana pengorbanan Alta yang rela mengeluarkan sejumlah besar uang untuk menebus hutang Dinda. Dinda pun sepertinya ingin selalu dekat dengan Alta. Dia terus saja meminta agar diterima jadi manager-nya meski selalu ditolak. Dari situ terlihat sifat keras kepala Dinda. Namun, positifnya, dia bukan gadis yang mudah patah semangat.

"Al ... aku jadi managermu, ya. Please ... please ... please ...." Dinda memohon sambil mendekap kaki Alta.

Alta membentak, "Enggak!"

"Ih, gitu amat, sih! Aku janji ga bakalan aneh-aneh, deh. Bakalan nurut juga!" Dinda terus berusaha meyakinkan.

Alta mengungkit-ungkut kesalahan Dinda yang pernah diceritakan sempat merugikannya. "Nurut apaan?! Waktu di Bangkok, di suruh diem di hotel aja keluyuran ke mana-mana sendiri. Ga percaya kamu bakalan nurut!"

"Itu kan belom jadi manager. Entar kalo udah jadi manager, aku pasti—"

"Ga percaya! Udah sana, ah ...." Alta menggerak-gerakkan kakinya yang masih digelayuti Dinda.

Masih terlihat belum patah semangat, Dinda semakin erat mendekap kaki Alta. "Altara ... please ...."

Di tengah-tengah kegaduhan antara Alta dan Dinda, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku pun meminta mereka agar berhenti bertengkar. "Hus! Udah! Berantem mulu, sih! Malu didenger tetangga."

Aku melangkah menuju pintu, lalu membukanya. Ternyata Bu Mega. Di belakangnya ada seorang pria yang tidak kukenali. Tak biasanya Bu Mega berkunjung bersama orang lain.

Aku beramah-tamah. "Bu Mega, ada perlu apa?"

Lihat selengkapnya