Telah diterima sebagai manager, Dinda mulai banyak menghabiskan waktu bepergian bersama Alta. Hal itu membuat Bu Mega tak senang. Dia bahkan memintaku untuk membujuk Dinda agar kembali bekerja sebagai pegawai catering. Tak enak hati. Namun, aku tetap berusaha memberikan pengertian pada Bu Mega. Kusampaikan padanya bahwa Dinda menyukai olah raga kick boxing, itu membuatnya ingin banyak tahu dan belajar dari Alta. Sedikit kusisipkan kebohongan, agar tidak mengecewakannya.
Meski telah berulang kali kusampaikan mengenai alasan mengapa Dinda lebih memilih jadi manager Alta, Bu Mega bukannya mundur, dia malah terus memaksaku membujuk Dinda. Bahkan terkesan memaksa. Hingga membuatku lumayan terganggu.
Sepulang kerja, belum juga masuk ke rumah, Bu Mega sudah menghampiri. "Amar, kamu udah bujuk Dinda lagi? Suruh dia kembali ikut Ibu. Ibu naikkan gajinya, deh. Kalo dia mau kerja di WO-nya Faris juga langsung diterima. Malah Faris yang nawarin ...."
Terdengar seperti lalat yang begitu bising di telinga. Aku lelah menjelaskan. Hingga ketika dia mulai bicara, hanya kulemparkan senyuman basa-basi.
Hari itu, Dinda sedang tidak ada kerjaan. Dia hanya santai-santai di rumah. Saat sedang menonton televisi, tiba-tiba Faris berkunjung. Dia meminta izin untuk mengajak Dinda keluar. Awalnya Dinda menolak, dan aku sendiri pun kurang senang. Namun, pria itu memohon. Meminta sekali saja dibolehkan keluar berdua Dinda.
Aku pun menyerahkan keputusan pada Dinda. Mungkin dia merasa tak enak juga pada Faris. Hingga akhirnya setuju menerima ajakannya.
Mereka pergi entah ke mana. Hingga larut malam, tak juga kembali. Beberapa kali kuhubungi ponsel Dinda, tidak diangkatnya. Aku sempat berpikir, mungkin setelah pergi dengan Faris, Dinda pergi ke tempat Alta. Aku pun menghubungi Alta untuk menanyakan. Namun, ternyata Dinda tak juga ada di sana.
"Lagi ngapain sih biarin Dinda pergi sama Faris?!" Bicara dengan Alta melalui handphone, reaksi Alta tak kuduga. Bukannya menenangkan, dia justru memarahiku karena mengizinkan Dinda pergi dengan Faris.
"Katanya cuma sebentar." Aku menjawab dengan sedikit membela diri.
Dia malah semakin marah. "Gimana, sih! Ga becus jadi kakak!"
Baru saja menutup komunikasi via handphone dengan Alta, selang beberapa detik ada panggilan masuk tanpa nama. Aku pun langsung menerimanya.
"Hallo ...."
Terdengar suara seorang pria dewasa. "Hallo, dengan saudara Amar?"
Aku menjawab, "Iya, saya sendiri."
"Anda kakaknya Dinda?" tanya Pria itu.
"Ah, iya saya kakaknya. Ada apa, ya?" Aku mendadak bingung. Mengapa pria ini bertanya mengenai hubunganku dengan Dinda?
"Saya dari kepolisian, Adik Anda di kantor polisi." Dia menyampaikan maksudya.
"Apa?!" Seketika aku terkejut mendengarnya.
"Silakan datang ke kantor polisi untuk memberi keterangan."
Aku mendadak panik. "Ke-kenapa adik saya di kantor Polisi? Apa yang dia lakukan, Pak?"
"Dia tertangkap tangan membawa obat terlarang."
Polisi menjelaskan singkat. Dia memintaku untuk segera datang ke kantor polisi. Aku pun bergegas pergi. Sebelumnya, kukabari Alta terlebih dahulu. Dari reaksinya ketika bicara melalui handphone, terasa kekhawatiran yang mungkin sama dengan apa yang kurasakan. Dia pun mengatakan akan segera menyusul ke kantor polisi.
Dalam perjalanan, pikiranku dipenuhi berbagai tanda tanya. Mengapa Dinda membawa obat terlarang? Apa diam-diam dia kembali menjadi pecandu?
Aku memang sempat membaca sebuah artikel, juga menonton beberapa film tentang pecandu narkoba. Orang yang pernah berhasil bebas dari jerat narkoba, ada kalanya dia akan kembali lagi. Mengingatnya membuat perasaanku begitu tidak nyaman. Bila benar Dinda kembali menjadi seorang pecandu, aku merasa perjuanganku menyembuhkannya sama dengan sia-sia.
Tiba di kantor polisi, para petugas melontarkan pertanyaan terkait hubunganku dengan Dinda. Kusampaikan apa adanya. Beberapa saat menunggu, mereka mengizinkanku mendatangi sel tempat Dinda dikurung.
"Kak ...." Dinda menghampiriku. Tangannya berusaha menggapai dari balik jeruji.
"Dinda, kamu-"
"Aku difitnah, Kak! Sumpah aku ga membawa barang itu. Itu Faris yang sengaja-"
"Jangan teriak-teriak!" Seorang petugas kepolisian memotong kata-kata Dinda karena bicaranya terlalu lantang.
Dia pun mulai mengecilkan nada suaranya. "Kak, Faris. Faris yang naruh di tas aku. Dia juga yang ngasih tau petugas kalo aku bawa barang itu. Dia jebak aku, Kak."
Antara percaya dan tak percaya, Dinda menyampaikan bahwa Faris menjebaknya. Aku masih bingung untuk mencerna. Benarkah demikian? Untuk apa?
"Kamu tau dari mana dia menjebakmu?"
"Dia nawarin barang itu. Katanya dia tau aku pemakai. Dia ngejanjiin kalo aku terima cintanya, dia bakalan ngasih meth terus. Aku tolak, Kak. Sumpah aku tolak. Aku pergi. Dia sempet mencegah. Terus ... terus aku diberhentiin sama petugas. Kakak percaya, kan?!" Dinda bicara tanpa jeda.
Entah benar atau tidak yang disampaikannya, aku tak tahu. Namun, bila dipikir mendalam, cukup masuk akal. Faris memang tergila-gila pada Dinda. Dia juga mungkin mengetahui dari Bu Mega bahwa Dinda adalah pecandu.
Dinda memasang tampang sedih. "Kakak harus percaya. Aku sudah bersih, Kak."
Aku tak langsung percaya perkataan Dinda. Masih mencoba memikirkannya dari berbagai sudut pandang serta kemungkinan-kemungkinannya. Namun, tak bisa dipungkiri, sedih rasanya melihatnya terkurung dalam jeruji besi. Kukira hidupnya kini telah berangsur membaik. Dia mulai bahagia, tetapi mengapa harus ada lagi kendala?