Bersama Hasta, aku mendatangi beberapa kenalannya, juga teman-teman Bojes yang diketahui merupakan pecandu narkoba. Rencananya kami akan menawarkan diri untuk memberikan pengobatan herbal agar mereka terlepas dari jerat barang haram itu. Namun, bukannya disambut baik, mereka justru menolak, bahkan meremehkan. Tidak sedikit yang langsung mengusir karena menganggap kami aneh. Ada juga yang dengan tegas mengatakan bahwa mereka lebih memilih menjadi pecandu narkoba daripada harus menjalani pengobatan.
Beberapa minggu telah menawarkan, belum juga ada satu pun pecandu yang mau menerima niat baik kami. Rasanya hampir patah semangat. Aku sempat merasa, mungkin diri ini terlalu naif. Berharap dapat menolong orang, tanpa berpikir ada seseorang yang mau ditolong.
Pada minggu kedua, kami masih mencoba. Berdua dengan Hasta, kami mendatangi sebuah perumahan mewah di daerah Jakarta. Hasta menyampaikan informasi bahwa dia sudah lumayan lama tidak bertemu salah seorang yang dikenalnya. Terakhir kawannya itu ditemukan dalam kondisi overdosis, lalu dibawa oleh orang tuanya entah ke mana.
Hasta berkata, "Gua yang ngenalin barang haram itu ke dia, Bang. Ada rasa bersalah juga, sih. Ya ... mungkin sekarang dia udah sembuh kali. Udah di-rehab sama orang tuanya yang kaya raya, tapi gua pingin tau aja kondisinya sekarang gimana."
Aku menimpali, "Ya, mudah-mudahan dia udah sembuh."
Kami tiba di depan sebuah rumah megah bercat kuning. Gerbang setinggi kurang lebih satu setengah meter cukup mampu menghalangi penglihatan kami. Hasta mengintip dari sela-selanya.
"Ini rumahnya?" tanyaku.
Iya. Kita masuk aja apa ya, Bang?"
Kulirik bagian kiri gerbang, terlihat ada tombol. "Ada bel, tuh. Pencet dulu."
Beberapa kali menekan bel, tidak juga ada jawaban. Kami menunggu cukup lama di luar gerbang.
"Ga ada orangnya kali, Has," ucapku.
Hasta memeriksa pintu kecil di samping gerbang utama. Ternyata tidak terkunci. "Kita masuk dari sini aja, Bang."
Merasa perilakunya tidak sopan, aku pun segera melarang, "Eh, jangan! Ga sopan. Belum disuruh masuk juga."
Tak menghiraukan laranganku, Hasta masuk begitu saja. Dia berjalan santai menuju pintu depan. Aku yang mengikutinya pun terus berusaha mencegah. Namun, Hasta justru mempercepat langkahnya. Dia begitu abai. Melihat sikapnya, mengingatkanku pada Alta kecil. Alta juga sering menabrak aturan semaunya. Berbeda dengan diriku yang cenderung patuh dan mementingkan norma kesopanan.
Hasta baru saja hendak mengetuk pintu. Namun, terdengar suara teriakan yang cukup kencang dari dalam rumah. Hal itu menghentikan gerakan Hasta. Aku dan Hasta pun sontak berpandangan. Kami saling menerka mengenai apa yang sedang terjadi.
Terdengar suara, "Lepas ... kalo ga dikasih, gua mau mati aja ... lepas!"
Suara yang saling tumpang tindih pun terdengar. "Tenang dulu. Jangan Kio ... jangan ...."
"Lepaaas ...."
BRUK!
Tiba-tiba saja pintu terbuka. Seorang pemuda keluar. Namun, langsung terjatuh di hadapan aku dan Hasta. Dia bangkit, seperti hendak kabur. Tanpa diminta, aku dan Hasta pun langsung menangkapnya.
"Kio ...." Seorang wanita menghampiri. Dia turut memegangi pemuda yang terus meronta itu.
Disusul dua orang perempuan muda. Mereka bertanya, "Gimana ni, Bu? Kita apain?"
Hasta bertanya, "Kio kenapa, Tante?"
Wanita paruh baya yang saat ini terlihat begitu panik menjawab, "Di-dia sakaw. Dia terus minta narkoba."
"Kita bawa masuk dulu, Tan. Kami bantu. Kalo Tante percaya. Kami bisa bantu," Hasta menawarkn bantuan.
Seperti sedang tak dapat berpikir, wanita itu pun hanya menuruti. Kami menggiring pemuda yang terus saja meronta. Menggotongnya bersama-sama. Tiba dikamar, kuikat tangannya dengan kain ke sisi kiri dan kanan ranjang. Begitu juga dengan kakinya. Persis seperti waktu menangani Dinda.
Hendak memberikan ramuan penenang, wanita paruh baya yang masih tampak begitu panik mencegah, "Apa itu?! Jangan sembarangan ngasih macam-macam ke anak saya!"
Aku menerangkan, sambil menunjukkan identitas. "Saya mahasiswa farmasi. Ini ramuan herbal untuk menenangkan, Bu. Tidak ada efek sampingnya. Saya sudah coba memberikannya ke beberapa pecandu narkoba."
Awalnya wanita itu terlihat ragu. Namun, beberapa kali menatap pemuda usia belasan yang terus meronta-ronta, akhirnya dia menyetujui. Dia memberi izin padaku untuk meminumkan ramuan herbal.
"Saya ga tau kalian siapa, tapi tolong tangani Kio sebentar. Saya mau menghubungi ayahnya." Perempuan itu meninggalkan kamar Kio.
Cukup lama meninggalkan Kio hanya bersama kami, wanita itu kembali. Saat melihat Kio telah lebih tenang, dia tampak terkejut. Dia mendekat dengan memasang tampang heran.
"Kami memberinya aromaterapi untuk mengurangi kepanikannnya. Sekarang dia sedikit lebih tenang. Cuma kalo efek aromaterapinya habis, dia akan kembali histeris." Aku menjelaskan.