Setelah Kepergian Ibu

Momo Shiny
Chapter #27

Bab 27. Harapan

Apa yang telah kuperjuangkan untuk memperoleh gelar Sarjana, kini terbayar sudah. Saat ini, aku berdiri bersama teman-teman mahasiswa yang akan menjalani wisuda. Senyum sumringah serta tawa ceria tergambar jelas di wajah pemuda-pemudi yang telah berhasil melewati delapan semester masa perkuliahan. Sama seperti mereka, aku pun merasa bangga mengenakan toga.

Prosesi wisuda begitu khidmat. Rangkaian acara berjalan lancar, hingga tiba saatnya aku naik ke panggung untuk berpidato. Aku memang memperoleh nilai tertinggi. Oleh karena itu, aku diminta mewakili mahasiswa untuk menyampaikan beberapa patah kata.

Aku menaiki anak tangga sambil membawa ijasah dalam bentuk gulungan. Kuambil microphone dari podium, dan mulai bicara, "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu. Salam sejahtera bagi kita semua."

Para undangan pun serempak membalas ucapan salamku.

"Dalam moment wisuda ini, saya mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan beberapa patah kata yang mewakili rekan-rekan mahasiswa. Kurang lebih empat tahun, suka duka kami jalani ketika berusaha menuju puncak masa perkuliahan. Belajar, berdiskusi, menjalani ujian, juga bersosialisasi adalah rutinitas sehari-hari yang kami jalani selama masa perkuliahan berlangsung.

Saya tidak ingin membahas lebih jauh tentang apa yang kami jalani pada masa perkuliahan. Saya justru ingin sedikit mengulas perjuangan orang-orang di balik pencapaian kami, wisudawan dan wisudawati yang kini dengan bangganya mengenakan toga.

Siapa yang ada di balik pencapaian kami? Siapa yang membiayai pendidikan kami? Siapa yang mendukung kami? Siapa yang tidak henti memberi motivasi kepada kami? Siapa yang memiliki harapan agar kami segera lulus? Siapa yang begitu bangga, ketika kami mengenakan toga?

Itu kalian ... kalian para tamu undangan yang hadir di sini. Kalianlah yang ada di balik pencapaian kami. Bapak, Ibu, Kakak, Adik, bahkan kekasih yang hadir dalam pelantikan ini, tentunya sangat berperan penting dalam pencapaian para wisudawan dan wisudawati.

Sama seperti seluruh wisudawan dan wisudawati, saya pun memiliki seseorang yang sangat berperan penting. Seseorang yang tidak pernah berhenti memotivasi, seseorang yang rela berkorban, seseorang yang bahkan hingga berdarah-darah ketika mendukung saya hingga tiba pada pencapaian ini. Dia seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya. Keluarga tanpa ikatan darah. Sahabat yang tak akan pernah berpisah."

Kuangkat tinggi-tinggi ijasah dalam genggaman, lalu berteriak, "Untukmu, Altara ...."

Serempak seluruh yang ada di gedung wisuda berdiri. Mereka bertepuk tangan. Diiringi alunan musik lembut, serta lagu yang bertemakan ucapan terima kasih yang dinyanyikan oleh salah seorang pengisi acara, para wisudawan dan wisudawati diperkenankan mencari dan menyerahkan ijasah mereka kepada keluarga yang hadir. Tangis haru mengisi ruangan.

Sama seperti yang lain, aku pun segera mencari seseorang yang begitu berjasa hingga tiba pada pencapaian ini. Melangkah menyusuri kerumunan, terlihat Dinda yang berlari dan langsung mendekapku, "Kak ... selamat, ya."

Aku membalas dekapannya.

Di belakang Dinda, terlihat Alta yang melangkah perlahan. Dia tersenyum, lalu memukul pelan bahuku. "Keren."

Kuserahkan padanya ijasah dalam genggaman. "Terima kasih, Al."

Dia mengangguk, menerima, lalu mendekapku dengan sangat erat. Air mata bahagia pun tak dapat kutahan. Berjatuhan membasahi kemeja Alta dalam suasana haru.

***

Prosesi wisuda telah selesai, aku pun keluar gedung, berjalan beriringan dengan Alta dan Dinda. Tiba di luar, begitu terkejut ketika terdengar suara lantang beberapa orang menyebut-nyebut namaku. "Amaaar ... keren! Amaaar ... keren!"

Tak hanya yel yel yang disuarakan, mereka juga memegang poster bertuliskan, 'Anak Panti Juga Bisa Wisuda' dan dibawahnya terbubuhi namaku dengan disertai angka indeks prestasi yang kuperoleh. Antara malu, sekaligus haru aku menyaksikannya.

Bimo, Velly, Kinan, Tito, dan beberapa anak panti yang masih kecil terus menyanyikan yel yel sambil menyebut namaku, hingga hal itu menarik perhatian banyak orang. Ada yang memotret, merekam, juga memberiku selamat sambil mengucapkan kata pujian. Mereka juga mendoakan agar setelah lulus aku segera dapat pekerjaan.

Bimo menghampiri dan langsung mendekapku. "Selamat! Amar keren! Ini dia Harapan Bunda."

Aku tak melihat kehadiran Bu Risma. Bimo mengatakan, Bu Risma tidak bisa datang karena kondisi kesehatannya tidak mendukung. Meski sedikit kecewa karena di hari pentingku Bu Risma tidak datang. Namun, aku mencoba mengerti. Semakin tambah umur, kesehatan Bu Risma memang sering terganggu. Ditambah beliau sempat memiliki riwayat penyakit kanker. Meski telah sembuh. Namun, kondisi fisiknya tidak sesehat sebelum terkena kanker.

Masih dalam suasana bahagia, Bimo mengajak kami ke suatu tempat. Tidak ada seorang pun yang tahu Bimo akan membawa kami ke mana. Dia hanya menyebut ini merupakan salah satu kabar gembira juga. Sekitar dua jam perjalnan dari gedung wisuda, kami tiba di sebuah bangunan yang terlihat seperti sebuah rumah makan, karena ada gambar menu-menu terukir di dindingnya.

Tito berkata, "Kita mau ditraktir sama Bimo, nih? Asiiik ...."

Lihat selengkapnya