Bersama Hasta dan Mifta, aku menangani Rasta, seorang pemuda berusia dua puluhan. Sebenarnya efek candu narkoba dalam tubuhnya belum terlalu ganas seperti banyak ditemukan pada pecandu lain yang pernah kutangani. Namun, pemuda ini begitu keras kepala. Dia tidak peduli efek buruk yang akan timbul, bila terus menceburkan diri dalam kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh barang haram.
Satu minggu tidak ada perkembangan. Rasta terus menolak ramuan yang kuberi, bahkan membuangnya. Dia juga melakukan tindakan kasar padaku sebagai bentuk berontaknya. Terus meminta dibebaskan dari kamar yang terkunci. Tak hanya itu, Rasta juga melemparkan makian kepada kedua orang tuanya.
Begitu sulit ditangani, akhirnya mulai kukerahkan anak buah Ratu Silva yang merupakan para waria. Clara, Sella, dan Nadia, dengan mengenakan pakaian sehari-hari yang terbilang cukup terbuka, disertai riasan make up tebal menghias wajah, serta rambut palsu beraneka warna, mereka melangkah mengikutiku.
Dari dalam kamar yang terkunci, terdengar suara makian dan ancaman dari Rasta. "Sini lu, Amar! Gua bikin babak belur lu kalo masih berani mau bujukin gua biar ga make lagi! Sini lu ...."
Di tubuhku memang terdapat beberapa luka memar serta goresan yang Rasta torehkan. Pemuda bertubuh sama ukuran dengan diriku itu melemparkan serangan ketika menolak apa yang akan kami lakukan.
Kubuka kunci, lalu menarik tuas pintu.
PRANG!
Bru sedikit terbuka, terdengar seperti sebuah benda menghantam pintu hingga pecah. Segera kututup kembali.
Aku menoleh ke para waria, "Anak ini brutal banget."
Clara mendorongku. "Minggir! Biar kita yang atasi."
Diikuti Sella dan Nadia, mereka masuk dengan santai. Mengenakan gaun layaknya perempuan, tak menutupi sisi kelelakian mereka.
"Hai hai ganteeeng ... jangan nakal. Ayo, kita mulai pengobatannya. Kalo nakal di-enjus, lho." Para waria melangkah berlenggak-lenggok mendekati Rasta.
Pemuda itu tampak kebingungan. "Si-siapa kalian? Ngapain di sini?!"
Aku muncul di antara tubuh tinggi besar para waria. Diiringi senyum percaya diri, aku berkata, "Mereka perawat kamu."
"A-apa?! Enggak! Enggak mau!"
Tampak ketakutan, Rasta berusaha kabur. Dia menerobos para waria menuju pintu yang kini terbuka. Namun, tidak berhasil. Dengan cekatan Nadia menangkapnya. Bahkan dengan mudah menggotong pemuda itu ke kasur.
"Jangaaan ... lepas! Ga mau!"
Para waria tampak menikmati ketakutan Rasta. "Duh ... rewelnya. Anteng dong, sayang."
"Enggak ... Mamiii ... tolooong ... banyak banci di kamarku." Rasta terus meronta-ronta.
"Duh ... anak mami. Gemesin deh kamu." Sella mencubit-cubit pipi Rasta.
Pemuda itu semakin terlihat ketakutan. Tak henti dia memanggil-manggil ibunya. "Mamiii ... tolong Mam ...."
Clara membelalakkan matanya. Dia seperti sedang mengancam. Kali ini mengeluarkan suara lelakinya. Tegas dan ngebass. "Diem ga! Kalo ga mau diem eike telanjangin, nih!"
Melihat Rasta tak berdaya, sama sekali tidak membuatku merasa kasihan padanya. Apa yang diterimanya justru terlihat sangat lucu, hingga aku tak mampu menyembunyikan tawa. Dia terlihat begitu ketakutan dikelilingi para waria. Wajahnya mulai terlihat pucat dan kata umpatan sudah tak lagi keluar dari mulutnya.
Dari balik pintu, kedua orang tua Rasta mengintip. Mereka memasang tampang khawatir. Aku pun menghampiri untuk meyakinkan bahwa para waria itu tidak berbahaya. "Tenang aja, Bu, Pak. Mereka kawan-kawan saya. Meski waria, tapi mereka orang baik-baik."