Kerja sama dengan Max Farma berjalan lancar. Perusahaan farmasi yang telah dikenal luas itu membantu memproduksi obat-obatan herbal yang kuciptakan dalam jumlah besar. Sedangkan untuk proses pemasaran, orang-orang yang sejak awal terlibat ketika merintis merek dagang inilah yang kukerahkan. Aku selaku CEO, Alta sebagai Brand Ambasador, Dinda dan Hasta memegang bagian marketing, lalu Ratu Silva serta anak buahnya menangani bagian jasa penanganan para pecandu narkoba. Untuk mengatur keuangan, aku percayakan kepada Velly, karena dia sempat sekolah di bidang akuntansi.
Arah hidupku mulai jelas. Kini aku tidak lagi merasa minder atas keberhasilan teman-teman panti yang lebih dulu sukses. Bukan hanya karirku yang mulai melejit, Alta pun semakin bersinar. Dia bahkan ditawari kontrak oleh Star Nation Sport. Sebuah agensi olah raga yang biasa memegang atlit kelas dunia. Tawaran ini merupakan titik terang bagi karirnya. Tidak hanya di negara ini, Alta juga akan semakin mengepakan sayapnya ke negara-negara lain. Pertandingan dengan bayaran yang tidak sedikit pun mendatanginya. Dia akan semakin sukses. Mungkin impian utamanya bisa benar-benar tercapai, yaitu dikenal dunia sebagai atlit kick boxing papan atas.
Hari ini, Alta memintaku untuk menghadiri peresmian dirinya menjadi bagian dari agensi tersebut di sebuah hotel berbintang. Saat diberitahu, aku sudah menduga ini merupakan acara resmi. Kebetulan saat Alta menyampaikannya, aku sedang membicarakan urusan pekerjaan dengan Ratu Silva. Dia pun berinisiatif memakaikanku setelan jas lengkap, dengan sedikit riasan di wajah.
Bertemu Dinda di depan gedung acara. Dia menatap heran padaku, bahkan terkesan terkejut. "Kak, kok rapi banget?!"
Aku yang justru bingung dengan penampilan Dinda pun berbalik tanya, "Memang harus rapi, kan? Kamu kenapa malah ga rapi?"
Dia hanya mengenakan kaos oblong agak longgar, dipadukan celana jeans yang memiliki sobekan di beberapa sisi, serta sepatu kets. Dia juga membawa tas selempang. Wajahnya pun tanpa riasan, disertai rambut sebahu yang dikucir kuda dengan sisi kiri kanannya terlihat sedikit berantakan. Penampilannya begitu terkesan casual.
Melihat ke kanan kiri, orang-orang yang kuduga juga merupakan tamu undangan acara Alta juga mengenakan pakaian formal. Bahkan ada beberapa artis yang datang. Dinda yang semula bingung melihatku, kini justru seperti heran melihat diri sendiri. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap penampilannya sendiri.
Dia mendekat, lalu bicara lirih, "Kak, kok semua pada pake jas sama gaun, ya?"
"Ini kan acara resmi. Memang udah seharusnya rapi, kan?" Aku menerangkan singkat.
Dinda menekuk wajah, sambil menggigit bibr bawahnya. "Hah?! Aku salah kostum, dong?"
Dari kejauhan, Alta menghampiri dengan berlari kecil sambil memanggil, "Amar ... buruan! Udah mau mulai acaranya."
Dia juga menggunakan pakaian resmi. Sama sepertiku, yang dikenakannya adalah setelan jas hitam. Bahkan rambutnya dibentuk begitu rapi.
Dia melihat ke arah Dinda dan langsung terlihat terkjut. "Kok pake gini?!"
"Kamu ga bilang ini acara resmi. Jadi saltum, kan?!" Dinda langsung saja marah-marah.
"Yaelah ... udah tau acaranya di hotel berbintang 5. Ya pasti resmilah. Gimana, sih?!" Alta balik memarahinya.
Dinda pun kembali menekuk wajahnya. Dia terlihat merasa begitu tidak nyaman dengan penampilannya saat ini. "Terus gimana, dong? Aku beda sendiri."
"Udahlah cuek aja. Ayo, buruan." Alta memerintah agar kami segera mengikutinya.
Acara pun berlangsung. Alta begitu bersinar ketika agensi olah raga rekanannya memperkenalkan biografi dirinya kepada para tamu undangan. Dia pun tampak percaya diri.