Satu tahun menjalin kerja sama dengan Max Farma, aku memutuskan berhenti. Alasannya karena ada sudut pandang bisnis yang sudah tidak lagi sejalan. Perusahaan farmasi itu cenderung lebih mengutamakan sisi komersil. Untuk jasa, mereka hanya bersedia menangangi para pecandu kelas menengah ke atas dengan bayaran yang terbilang tinggi. Hal itu sudah tidak selaras dengan tujuan awalku yang memang juga penuh harap dapat memberikan pelayanan untuk segala kelas sosial.
Memberanikan diri, dengan berbekal pengalaman serta kerja sama dengan adik dan para sahabat yang setia mendampingi sejak awal dirintisnya Survive, aku pun membuka perusahaan sendiri. Mulai dari perizinan, produksi, pemasaran, hingga pelayanan jasa kami tangani sendiri. Cukup banyak kendala yang sempat menghadang. Namun, dengan kerja sama yang solid, semua itu dapat teratasi.
Ini adalah tahun kelima sejak kami merintis Survive. Pencapaian pun semakin terlihat hasilnya. Pemerintah juga mulai memperhitungkan apa yang kami lakukan, hingga segala perizinan mudah didapatkan. Kami bahkan memiliki acara televisi sendiri. Tayangan Talkshow yang mengangkat tema tentang para pecandu narkoba.
Hari ini, kami akan mengadakan rapat kerja sama dengan salah satu rumah sakit penanggulangan narkoba. Rumah sakit swasta yang diperuntukkan bagi para pecandu narkoba ini merupakan milik seseorang yang didirikan secara mandiri. Bila rencana bisnis ini mendapat kesepakatan, maka sistem pengobatan herbal yang kujalankan dapat lebih meluas manfaatnya. Mengingat cukup banyak pasien yang butuh penanganan di sini.
Aku duduk di ujung meja berbentuk oval. Pada sisi kiri, ditempati beberapa orang yang hadir mewakili perusahaan Survive. Dinda, serta Hasta yang kini telah berusia tujuh belas tahun pun siap mengikuti jalannya rapat. Di sisi kanan, para perwakilan dari calon rekanan berjajar rapi. Kami hanya tinggal menunggu seorang perwakilan tertinggi dari rumah sakit Gardenia ini.
Cukup lama menanti, pintu terbuka. Aku pun menoleh.
Para perwakilan dari Rumah Sakit Gardenia berdiri, menyapa pimpinan mereka. "Selamat pagi, Nona ...."
Seketika ... sosok perempuan muda yang baru saja memasuki pintu membuatku begitu berdebar-debat. Perempuan dengan mata bulat, hidung mancung, bibir tipis berperona merah muda itu seolah membuat pikiranku tak teralihkan darinya. Dia berpenampilan begitu anggun, dengan rambut hitam yang digelung hingga menampakkan leher jenjangnya. Pakaian yang dikenakan pun sopan. Dia memakai jas berwarna putih dipadankan dengan rok hitam sepanjang lutut.
Perempuan yang membuatku hampir tak berkedip kini berada tepat di hadapan. Dia menempati sisi lain ujung meja. Setelah menyapa seluruh yang ada di ruangan, dia menatapku. Wajahnya yang semula menampilkan senyum, terlihat tegang ketika kami beradu pandang. Itu pula yang kurasakan.
Aku mengenalinya ... mengenali perempuan memesona yang saat ini ada di hadapan. Semakin lama saling memandang, hal itu membuat jantungku berdegup semakin kencang. Rasanya seperti mau copot. Aku pernah merasakan situasi ini. Sekali seumur hidup. Yaitu saat menatap lukisan Amira.
Di tengah-tengah terhipnotisnya pikiran oleh perempuan cantik yang juga terlihat tak berkedip menatapku, seseorang di ruangan memperkenalkan kami. "Tuan Amar, ini Nona Amira, pemilik Rumah Sakit Gardenia. Nona Amira, ini Tuan Amar, CEO dari perusahaan Survive."
Benarkah dia Amira? Amira yang selama belasan tahun terus mengisi hatiku dengan kerinduan. Amira yang ingin kutemui ketika aku telah berhasil menjadi orang yang sukses.
Entah apa yang ada di benak perempuan bernama Amira itu. Apakah dia juga menerka-nerka hal yang sama denganku? Bila memang benar dia Amira yang dulu, apakah dia mengenaliku?
Kami terus saling berpandangan. Apa yang moderator rapat ucapkan sama sekali tidak ada yang kusimak. Pikiranku hanya asik melambung ke arah perempuan yang ada di ujung meja.
Entah berapa lama kami hanya saling berpandangan. Hingga seseorang di ruang rapat mengeraskan suaranya. Dia seperti sedang menegaskan pertanyaan yang sebelumnya sama sekali tidak kuperhatikan.
"Tuan, Amar. Nona Amira. Sudah saya sampaikan bentuk kerja sama yang akan kita jalankan. Keputusan ada di tangan kalian. Bersediakah—"
"Bersedia!"