Rumah Sakit Gardenia sebelumnya merupakan sebuah hotel yang dikelola oleh Pak Wastura, Kakek Amira. Beliau sempat mengalami kecelakaan yang menyebabkan dirinya tidak mampu menjalankan segala bisnis, hingga pada akhirya hotel itu ditutup. Amira yang telah lulus mengenyam pendidikan di bidang kedokteran, berinisiatif memanfaatkan bangunan ini untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Untuk itu, dengan bantuan dana dari kakeknya, dibangunlah sebuah Rumah Sakit bagi para pecandu narkoba.
Sampai detik ini, belum juga ada kesempatan aku berjumpa dengan Pak Wastura. Dia memang mulai pensiun. Tidak lagi secara langsung turut serta mengurus segala bisnis yang dikelolanya. Sesekali Pak Wastura hanya memastikan pekerjaan yang dijalankan Amira maupun orang-orang kepercayaannya tak ada hambatan.
Hari ini, Pak Wastura berkunjung ke Rumah Sakit. Sebelumnya, aku meminta kepada Amira supaya jangan menyebut bahwa Amar yang ini merupakan Amar yang dulu, seorang bocah yang pernah diusirnya bagai hewan liar yang mengganggu di kediaman megahnya. Alasannya, aku hanya tidak ingin hubungan kerja sama ini menjadi rumit bila ada kemungkinan Pak Wastura tidak menyukaiku. Tanpa banyak tanya, Amira pun menyetujuinya. Mungkin dia juga memikirkan efek baik buruk bila kakeknya mengetahui.
Pak Wastura yang dulu pernah berdiri tegap di hadapanku, kini hanya dapat duduk di atas kursi roda. Kakinya sudah tidak berfungsi lagi. Akibat kecelakaan yang dialami, dia menderita kelumpuhan di beberapa bagian pada tubuhnya. Meski terlihat semakin tua dan tidak berdaya. Namun, wajah bengisnya masih sama. Bahkan ketika aku berusaha beramah-tamah, dia tetap memasang tampang sangar. Selama perbincangan, dia hanya terus fokus pada pembicaraan bisnis. Tidak lainnya. Aku pun berusaha memaklumi dan tidak mengambil hati. Berpikir positif, mungkin memang sudah sifat sejak lahirnya seperti itu.
Beberapa saat berkeliling rumah sakit sambil membicarakan bisnis. Seseorang menghampiri kami. Dari kejauhan, aku seperti mengenalinya. Pria yang mengenakan setelan jas hitam lengkap dengan dasinya itu semakin mendekat. Hingga berhenti tepat di depan Pak Wastura.
"Sudah selesai, Pak? Setelah ini kita ada pertemuan dengan Mr. Fredrick." Pria itu bicara kepada Pak Wastura.
Menatap pria itu, seketika membuat jantungku berdetak tak beraturan. Aku mengenali suaranya, juga tiap lekuk wajah yang saat ini telah dihiasi garis-garis penuaan.
Pria itu sama sekali tidak menoleh ke arahku. Dia langsung mendorong kursi roda Pak Wastura. Aku masih mengamatinya. Terus mengamatinya.
"Amar ... Amar ... kenapa?" tanya Amira sambil menepuk-nepuk bahuku.
Masih menatap pria yang kini hanya tampak punggungnya, aku bertanya pada Amira. "Amira, siapa dia?"
"Oh, itu. Aku lupa memperkenalkan. Marwaaan ...." Amira meneriaki pria yang saat ini berjarak beberapa meter di hadapan kami.
Mendengar Amira menyebut namanya. Berbagai runtutan kilas balik memenuhi kepalaku. Kembali teringat, ketika Ayah dengan teganya membuangku dan Dinda ke panti asuhan.
Pria itu menoleh. "Ya, Non ...."
"Sini sebentar." Amira memanggilnya.
Pria itu pun terlihat bicara kepada Pak Wastura, lalu melangkah ke arah kami. Semakin mendekat, rasanya ingin segera kulemparkan tinju ke wajahnya. Namun, berusaha kutahan.
Amira memperkenalkan. "Amar, ini Warwan. Tangan kanan Kakek."
Sambil melemparkan senyum, dia menjulurkan tangannya. Tak kubalas. Aku hanya terus menatapnya dengan tajam. Berharap dia mengenali bahwa aku merupakan putranya yang telah dibuang ke panti asuhan puluhan tahun lalu.
"Amar?" Amira menyentuh bahuku. Mungkin dia bingung atas sikapku.
Kutunggu reaksi dari pria yang menimbulkan luka begitu dalam di hati ini. Dia menarik kembali tangan yang sudah dijulurkannya. Mulai menegaskan pandangan, dia mengernyitkan dahi sambil mengamatiku.