Aku mulai sering melakukan tindakan semena-mena kepada Arum. Mencari-cari kesalahan yang bahkan tidak diperbuatnya, hingga memberi sanksi yang cukup merugikan untuk dirinya. Tindakan yang hanya didasari emosi semata itu bukan tanpa resiko. Amira yang menerima pengaduan dari Arum pun menegurku.
"Amar, kamu kenapa, sih? Kamu ga seperti Amar yang kukenal. Kenapa kamu terus mencari-cari kesalahan Bu Arum?" Amira melontarkan berbagai runtutan pertanyaan dengan nada kesal. Dia seperti kecewa atas sikapku.
Aku hanya menimpali, "Maaf."
"Maaf?! Maksud kamu apa dengan kata maaf itu?!" Amira masih menodong jawaban atas sikapku terhadap Arum.
Aku berusaha mengelak, "Maaf, aku ga ingin membahas ini."
Dengan tegas, Amira berkata, "Ini perlu dibahas, Amar. Kita terlibat dalam hubungan kerja sama bisnis, dan Bu Arum merupakan orangku. Kamu ga bisa seenaknya memperlakukan pegawaiku sesuka hati."
Mendengar ucapan Amira yang seolah terus menyalahkan, rasanya begitu kesal. Dia tak tahu ada rasa dendam yang masih bersemayam di hati ini. Dendam itu terus saja meronta ingin keluar. Hingga terkadang menciptakan arogansi dari sikapku. Ingin kutarakan yang sebenarnya tersembunyi di hati ini. Namun, sepertinya tidak tepat. Hal itu masih perlu dirahasiakan. Aku tidak ingin Amira mengetahui kenyataan bahwa orang yang selama ini sempat disebut dikaguminya, ternyata menumpuk kebencian yang begitu besar.
Aku tak menatap Amira. Berusaha mengalihkan pandangan darinya untuk menghindari tuntutan jawaban.
Amira menggenggam tanganku. "Amar, ada apa sebenarnya?"
Menatapnya dengan terpaksa, aku berkata, "Amira, maaf aku harus pergi. Kita bahas lain kali."
Aku pergi begitu saja meninggalkan Amira di lorong rumah sakit. Seperti tidak puas atas sukapku, dia terus memanggil-manggil namaku.
"Amar ... Amaaar ...."
***
Perilaku semena-menaku terhadap Arum bukan hanya diadukan kepada Amira, tetapi juga ke Pak Wastura. Entah bagaimana hubungan yang terjalin antara Kakek Amira dengan Ayah, yang jelas pria tua itu begitu serius menanggapi pengaduan dari Arum. Pak Wastura pun meminta bicara empat mata denganku.
Seorang diri, aku mendatangi kediaman megah Pak Wastura. Salah seorang pelayan mengarahkanku menuju ruang kerjanya. Tiba di sana, sudah menanti Pak Wastura yang didampingi Ayah.
Sama seperti sebelumnya, aku menatap tajam ke arah Ayah. Mungkin tertera kebencian pada sorot mataku. Kali ini, seolah membalas ketidaksenangan dalam diriku, Ayah pun menatap sinis. Entah atas sebab sempat kuabaikan, atau karena aduan istrinya. Bisa jadi keduanya.
Pak Wastura membuka pembicaraan. "Saya dengar, Anda memperlakukan Bu Arum dengan semena-mena. Apa maksudnya itu?"
Sesaat melirik ke arah Ayah, aku menjawab dengan percaya diri. "Tidak semena-mena. Pekerjaannya memang banyak yang tidak sesuai prosedur."
Pria tua itu menimpali. "Anda tahu? Pak Marwan dan istrinya sudah mengabdi pada saya selama belasan tahun. Saya tahu kinerja mereka."
Dengan tegas aku berkata, "Tapi bila pekerjaannya kacau, itu bisa merugikan Rumah Sakit Gardenia, bahkan bisa merambah pada perusahan saya."
Tiba-tiba saja Ayah menyela, "Kacau bagaimana?! Istri saya sudah ahli dalam bidang keuangan. Selama ini tidak pernah ada masalah. Baru kali ini saja ada yang mencari-cari kesalahannya!"