Mendengar kenyataan bahwa Amira telah bertunangan dengan seseorang yang entah siapa, hal itu membuatku begitu hancur. Bukan hanya karena adanya kemungkinan perjalanan cintaku tak akan bermuara pada Amira. Namun, ada rasa kecewa yang begitu besar terhadap gadis yang selama ini menjadi pujaan hati. Tak habis pikir, mengapa Amira menyembunyikan bahwa ada ikatan antara dirinya dengan pria lain?
Saat ini aku mengambil alih bagian produksi. Kuserahkan segala urusan bisnis yang berkaitan dengan Rumah Sakit Gardenia kepada Dinda. Hal itu dilakukan karena aku ingin menghindari Amira. Kekecewaan yang begitu besar membuatku merasa tak ingin bicara dengannya.
Amira terus mencoba menghubungi. Melalui sambungan telephone, chat, juga bertanya kepada Dinda. Namun, selalu kuabaikan. Entahlah ... rasanya tak ingin membahas apa pun dengannya. Aku bahkan melupakan urusan dengan Ayah yang sebelumnya begitu menggebu-gebu. Rasa ingin balas dengan tertutup oleh rasa sakit hati karena merasa dikhianati.
Hari itu, Amira menemuiku di pabrik produksi. Dia memaksa ingin bicara, meski kutanggapi sambil berpura-pura mengerjakan sesuatu.
"Amar, aku perlu jelaskan sesuatu." Dia menggenggam lenganku.
Kuhentikan apa yang sedang dikerjakan. Tak ramah seperti biasanya, aku menatap, lalu bertanya, "Apa?"
Amira mulai menjelaskan, "Pertunangan itu bukan kemauanku. Itu kemauan Kakek. Aku benar-benar ga menginginkannya. Kamu harus mengerti."
"Kenapa baru kamu sampaikan sekarang?!" tanyaku tegas.
"Aku ... aku hanya ga ingin merusak pertemuan kita." Dia menunduk.
Aku menatapnya tajam. "Tapi pada akhirnya kamu menghancurkan hatiku juga."
"Amar ... aku ga bermaksud—"
"Udah. Patuhi saja kakekmu." Memotong ucapannya, lalu aku pergi.
"Amar ...."
Dia berusaha mencegah dengan menarik lenganku. Namun, kutampiknya. Tak menghiraukan Amira yang terus menyebut-nyebut namaku, aku melangkah semakin menjauhinya.
***
Tiga bulan sudah aku tak berkomunikasi dengan Amira. Hari itu, saat sedang merenung di tepi kolam renang, Dinda menghampiri.
Dia membuka pembicaraan berkaitan dengan Amira. "Kak, Amira tiap hari nanyain Kakak."
Tak kubalas perkataannya. Aku hanya menerima secangkir kopi yang diberikannya, lalu kembali memandangi rintik hujan yang berjatuhan ke atas permukaan air kolam renang. Dinda duduk di sebelahku.
"Kalo boleh berpendapat, sikap Kakak ini buruk banget," ucap Dinda begitu terus terang.
Mendegarnya mengatakan hal tidak menyenangkan, aku pun menoleh. "Maksud kamu?"
Dinda menimpali, "Kakak marah Amira ternyata punya tunangan, tanpa mau peduli apa yang dialaminya. Kakak tau sendiri kakeknya Amira tu gimana sifatnya. Soal pertunangan itu, Amira pasti dipaksa. Bukan kemauannya."