Usai pernikahan, kehidupanku jadi lebih membahagiakan. Tepat seperti apa yang kuangankan selama ini, Amira merupakan istri yang begitu memahami kebutuhan suaminya. Dia memutuskan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Tak lagi terlibat dalam berbagai urusan bisnis.
Segalanya berjalan lancar sesuai keinginan. Karir yang semakin melejit, rumah tangga yang harmonis, serta sahabat-sahabat yang saling mendukung. Rasanya segala kesulitan yang telah terlewati hingga tiba pada titik ini terbayar sudah. Kini aku memiliki segalanya. Tak boleh disia-siakan, apalagi dihancurkan oleh kebodohan.
Aku pun mulai menyingkirkan dendam yang selama ini menggerogoti jwa. Kuhempaskan segala kebencian terhadap Ayah dan Ibu Tiri. Biarlah karma yang membalas mereka.
Hari itu, bersama Amira aku sedang menonton tayangan berita di televisi. Suasana yang semula tentram, mendadak menegangkan ketika seorang reportor menyampaikan berita tentang Rumah Sakit Gardenia.
Terjadi penyandraan di Rumah Sakit Gardenia. Pemilik serta direktur utama rumah sakit ditahan oleh para pasien pecandu narkoba yang mengaku merasa dirugikan. Para pecandu melakukan perusakan serta menyerang beberapa petugas yang berusaha mengamankan. Saat ini gerbang Rumah Sakit Gardenia terkunci rapat. Entah tindakan nekat apa yang akan dilakukan para pasien pecandu narkoba.
Seketika mata Amira membelalak. Dia begitu serius menyimak informasi yang disampaikan oleh reporter. Kekhawatiran tak bisa terelakkan dari raut wajahnya.
Terihat begitu panik, dia bertanya, "Amar, benar berita itu?! Ka-Kakek ada di sana."
"Kita cari tau, ya." Aku berusaha menenangkannya.
Aku segera mengambil handphone, lalu menghubungi salah seorang pegawai di Rumah Sakit Gardenia yang selama ini memang kupekerjakan sebagai mata-mata.
Cukup lama tidak terima. Sambil tetap melakukan panggilan, aku menyimak berbagai tayangan berita yang berkaitan dengan kejadian di Rumah Sakit Gardenia. Begitu pun dengan Amira.
"Hallo ...." Akhirnya panggilan telephone diterima.
"Hans, apa yang terjadi di Gardenia?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Pak, di sini rusuh banget. Pa-para pecandu merusak ... me-mereka menutup akses masuk. Ga ada yang bisa keluar maupun masuk. Mereka menyandra dan menyiksa para perawat di sini." Nada suara Hans terdengar panik.
"Pak Wastura di sana?!" Aku tak terlalu menyimak informasi lainnya. Saat itu yang kukhawatirkan hanyalah Kakek Amira.
"I-Iya. Ada. Pak Wastura sama Pak Marwan diiket, diarak ini—"
"Hei ... sini hp-nya!"
Terdengar suara orang lain dari speaker handphone.
"Hans ... Hans ...." Aku memanggil-manggil namanya. Namun, tak ada jawaban.
Tiba-tiba saja sambungan telephone terputus.
Masih disertai kepanikan, Amira langsung melontarkan berbagai pertanyaan beruntun. "Gimana?! Kakek ada di sana?! Dia aman?!"
Berpikir sejenak, aku memutuskan segera pergi ke Rumah Sakit Gardenia.
Sebelum pergi, aku memberi perintah kepada Amira. "Amira, kamu tunggu di sini. Aku ke Gardenia. Aku akan masuk lewat akses tersembunyi yang pernah kamu tunjukkan."
"Aku ikut," pintanya.
"Jangan! Bahaya." Menghawatirkan Amira yang saat ini sedang mengandung, aku pun mencegahnya untuk ikut.
"Ta-tapi Kakek ...." Dia terlihat begitu mengkhawatirkan kakeknya.
Aku menggenggam tangannya. "Percaya sama aku. Akan kuselamatkan kakekmu."
Diiringi air mata yang mulai menghujan, Amira memohon. "Tolong selamatkan kakekku. Dia satu-satunya keluargaku."
Aku membelainya dengan lembut. "Pasti. Kamu tenang aja, ya."
Segera kuhubungi Alta, Dinda, dan Hasta. Seperti telah menyimak informasi yang sama, mereka langsung paham maksudku. Tergesa-gesa, aku pun segera menuju Rumah Sakit Gardenia.
Dari berbagai arah yang berbeda-beda, kami bertemu di pintu akses tersembunyi menuju gedung rumah sakit.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Dinda.
Aku pun mulai mengarahkan, "Alta, Dinda coba tenangkan para pecandu narkoba itu. Cari tahu apa motif mereka. Hasta, cari kunci gerbang depan. Usahakan gerbang depan bisa dibuka, supaya bala bantuan dari pihak kepolisian bisa masuk. Aku akan cari Pak Wastura."
Serempak mereka berkata, "Siap!"
Kami melangkah beriringan menuju gerbang rumah sakit. Perlahan dan sambil mengawasi sekeliling. Terdengar riuh suara beberapa orang yang saling berteriak. Beberapa bagian rumah sakit banyak yang telah rusak, bahkan ada beberapa yang terbakar. Suasana terasa mencekam, telebih ketika mulai menemukan perilaku para pecandu yang bagai orang kurang waras. Mereka berlarian, menghancurkan perlengkapan rumah sakit, dan beberapa di antaranya mengerjai serta menyiksa para perawat.
Teriakan ketakutan dari para perawat seolah bersahutan dengan tawa puas dari para pecandu narkoba yang bergerak begitu liarnya. Melihat situasi yang terasa kacau, kami memperlambat langkah untuk lebih berhati-hati.
Dinda berkata lirih, "Kacau banget ini."
Aku mulai merasa tegang. Mungkin itu yang juga dirasakan oleh Alta, Dinda, dan Hasta. Takut bila para pecandu itu turut mencelakai kami.
Baru memikirkan kemungkinannya, tiba-tiba beberapa orang berlari menghampiri kami. Mereka berteriak, "Tangkaaap ...."