Selama menjabat sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Gardenia, ternyata banyak penyalahgunaan yang dilakukan Ayah dan Arum. Bukan hanya korupsi, tetapi juga melakukan berbagai tindakan yang merugikan pasien pecandu narkoba.
Sukarela, aku menawarkan bantuan kepada para pasien yang merasa dirugikan untuk menuntut Ayah. Ada beberapa tuduhan yang diajukan, di antaranya biaya pengobatan yang terus dibebankan kepada keluarga pasien terbilang tidak wajar, perilaku semena-mena sering dilakukan oleh para pegawai rumah sakit pilihan Ayah, pasien juga tidak menerima pengobatan sebagaimana mestinya hingga beberapa orang tidak tertangani dan meninggal dunia. Tuntutan tidak hanya datang dari pasien, Pak Wastura yang mengaku tidak tahu menahu apa yang dikerjakan oleh Ayah dan Arum turut membawa kekecewaannya ke meja hijau. Dia mengaku dirugikan dari segi materi, ditambah luka fisik karena ikut menerima siksaan dari para pecandu narkoba yang meluapkan kekecewaan. Selain itu, kepercayaan Pak Wastura terhadap kaki tangan yang selama ini begitu dipercaya juga memudar. Bahkan mungkin hilang tak berbekas. Terlihat dari tuntutan hukum yang diajukannya begitu memberatkan Ayah.
Ayah duduk di kursi tersangka. Dia terus menunduk ketika jaksa penuntut menyebutkan berbagai pasal yang mungkin akan menjeratnya. Dia terlihat pasrah dan tidak berdaya. Tidak hanya Ayah, ibu tiriku pun menerima berbagai tuntutan hukum yang sama beratnya. Berbeda dengan Ayah yang tidak mengelak segala yang dituduhkan padanya, Arum justru meminta keringanan hukuman hingga tak berhenti menangis ketika persidangan sedang berlangsung.
Usai berjalannya sidang pertama, seorang gadis memanggilku. "Pak ... Pak Amar ...."
Dia gadis yang kutemukan sedang berdekapan dengan Arum dalam peristiwa berontaknya para pasien Rumah Sakit Gardenia.
Aku mengamatinya. Dia sedikit mirip dengan Dinda.
"Pak, saya Namia. Saya anak dari Pak Marwan dan Bu Arum. Saya mohon, ringankan tuntutan hukum terhadap mereka, Pak." Dia memohon sambil menangis.
Aku berpikir, bila dia anak Ayah, itu artinya gadis ini adalah adikku juga. Seketika perasaanku begitu campur aduk. Aku tak mengenal gadis ini sebelumnya, tetapi bila benar dia anak Ayah, artinya sama seperti Dinda. Dia juga adik yang perlu kujaga.
Gadis itu menggenggam tanganku. "Pak ... tolong Ayah dan Ibu saya."
***
Permintaan Namia begitu berat kupenuhi, karena aku telah berjanji kepada para pasien Rumah Sakit Gardenia, akan membuat Ayah menanggung akibat dari perbuatannya. Tidak hanya dari mereka, tetapi juga Dinda yang terus menunjukkan kebenciannya. Dia mengaku tidak rela bila Ayah lepas begitu saja. Dinda bahkan mengancam, bila aku tidak mau melanjutkan tuntutan, maka dirinya yang akan melakukannya.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku tetap melanjutkan. Ayah dan Arum pun dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara, serta denda ratusan juga. Segala harta kekayaan miliknya disita. Sebagian kembali diambil alih oleh Pak Wastura.
Ayah menanggung segala perbuatannya. Dia memilih wanita yang salah. Bukan hanya seseorang yang menolak menerima anak bawaannya, melainkan dia juga wanita tamak yang terus mempengaruhi Ayah hingga menuju kehancuran.
Usai hakim mengetuk palu pertanda persidangan telah berakhir, petugas kepolisian memborgol dan menggiring Ayah. Aku menghadangnya. Ayah yang semula terus menunduk, perlahan menengadahkan wajahnya.
Tiba-tiba saja air mata menetes. Entah tangis kesedihan karena hukuman yang harus diterimanya, atau dia telah menyesali segala perbuatan kejinya, aku tak tahu. Namun, yang jelas, dia terlihat begitu bersedih.
"A-Amar ... maafkan Ayah." Usai berucap, dia kembali menunduk. Seolah menyembunyikan air mata yang semakin berjatuhan.
Petugas mendorongnya agar melangkah. Dia hanya mengikuti arahan.
Berbeda dengan Ayah yang mulai terlihat menyesali perbuatanya, ketika digiring petugas, Arum justru meronta-ronta. Dia bahkan memaki ketika melihatku.
"Hei, Amar! Awas kamu, ya! Saya akan balas dendam! Saya akan balas dendaaam ...." Dia terus teriak hingga petugas memasukkannnya ke mobil yang akan membawanya ke penjara.
Aku tak bereaksi apa-apa, hanya memandangi mereka. Dinda dan Alta menghampiri. Mereka melakukan hal serupa, menyaksikan detik-detik kehancuran Ayah dan wanita pilihannya.
Dinda berkata, "Mereka pantas menerimanya."