*****
Sungguh! Senja benar-benar iri! Lihatlah! Bahkan para pria latin yang menghuni restoran ini begitu terpukau oleh penampilan fisik Kelam. Tidak heran Kakaknya dulu begitu memujanya. Sepulang sekolah, yang dia bicarakan selalu Kelam, Kelam dan Kelam, sampai Senja bosan mendengarnya. Mungkin, saking rutinnya Dirga, sang Kakak bercerita, apabila ada seseorang yang bertanya perkara warna favorit wanita itu, bukan hanya warna tapi makanan atau buku favoritnya pun Senja tahu.
"Terima kasih," ucap wanita itu lembut kepada pelayan yang baru saja menghantarkan kopi untuknya.
Kopi sebagai sajian dinner? Mungkin terasa janggal bagi beberapa negara yang memiliki culture akan berbagai jenis wine sebagai pendamping main course dinner. Tapi tidak bagi Kelam. Dirga pernah berkata wanita itu menyukai sesuatu yang gelap sesuai namanya. Warna hitam, kopi pahit, black forest, novel tragedy atau kesendirian.
"Sugar, Miss?" tanya si pelayan.
"Oh! Dia tidak suka gula," serobot Senja. Si pelayan mengangguk lalu pamit undur diri setelah membaca gesture dari tangan Senja yang menyuruhnya pergi.
"Dari mana kau tahu aku tidak suka sesuatu yang manis?"
"Mas Dirga! Ternyata semua ceritanya benar! Andai saja aku seorang pria, aku pasti juga akan jatuh hati pada Mbak."
Kelam tertawa anggun, ia sedikit tersipu. Cantik sekali! Senyum itu bagai mantra sihir di hati Senja, mampu mengaburkan kegundahannya akan keberadaan sang suami.
Sekeluarnya mereka dari lift, Kelam menemaninya ke bagian informasi. Senja belum mahir berbahasa latin, jadi Kelam membantunya untuk menanyakan perihal Surya. Hasilnya nihil. Tiada satu pun orang yang mengetahui atau sekedar mengenali wajah Surya. Sepanjang petang itu juga, Senja mengelilingi seluruh lantai dasar hotel tempatnya menginap. Mulai dari restoran, kantor administrasi hotel hingga beberapa store yang terletak di sekitar hotel. Akhirnya, ia menyerah dan kembali ke lobi. Rupanya, Kelam masih menunggunya di sana. Wanita anggun itu menyeretnya ke sebuah restoran di bagian paling ujung lantai dasar. Ia memaksa Senja untuk menemaninya makan malam.
"Coba kau telepon dia lagi, atau mungkin dia sudah kembali ke suite kalian?" saran Kelam di sela kunyahannya. "Aku seharusnya tidak boleh berbincang di saat makan, Marisa paling cerewet kalau berkenaan dengan table manner."
Senja yang baru saja menengok aplikasi pesannya, menoleh. Ia tersenyum. "Dia benar, Mbak. Makan seharusnya tidak diselingi dengan obrolan, nanti bisa tersedak. Well, aku rasa, aku juga akan pamit. Mbak benar, mungkin Mas Surya sudah kembali ke suite."
"Kau benar-benar tak mau makan dulu?"
Senja menggeleng. Makan tidak lagi terpikir dalam benak Senja, ia hanya ingin menemukan suaminya. Ia sangat khawatir jikalau sesuatu yang buruk menimpa Surya.
"Baiklah! Kemarikan ponselmu, akan kusimpan nomorku untukmu. Aku di sini sampai lusa, jadi telepon aku jika kau butuh bantuan. Atau mungkin, jika Surya sudah kembali, kita bisa dinner bersama?"