“Sudah, Ma, biar Tania saja,” ucapku menawarkan diri kepada mama yang tengah asyik menaruh kardus-kardus berat. “Nanti Mama kecapekan! Mama, kan, sedang hamil tujuh bulan.”
“Enggak apa-apa, kok, Tan. Mama kuat. Kamu bantu yang lain saja, ya. Ah! Ya-ya! Mama butuh bantuanmu untuk menyapu, Sayang,” kata mama.
“Beres Ma, nanti Tania pasti akan menyapu. Sekarang, Mama istirahat dulu saja. Biar Tania yang memindahkan barang-barang itu. Wah ... ini berat sekali, Ma!”
“Tenang, Tania Sayang. Mama kuat, kok. Biasanya Mama juga melakukan hal ini, kan?
Kamu tidak perlu khawatir, deh,” mama menolak bantuanku dan masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Iya. Tapi, kan ...,” aku mencoba mencari alasan.
“Tenang saja,” mama berkata sambil berlalu pergi naik turun tangga untuk memindahkan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi.
Oh iya! Hari Minggu ini adalah hari yang sibuk bagi keluargaku! Bagaimana tidak? Kami sedang mempersiapkan kamar untuk adikku nanti. Aku bertugas membersihkan kamar itu: membersihkan debu, mengelap kaca, menyapu, dan mengepel. Mama bertugas mengangkut barang-barang. Sementara papa bertugas menempel wallpaper serta mengatur furniture pengisi kamar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan USG yang dilakukan mama sebulan yang lalu, jenis kelamin adikku itu perempuan. Wah! Dia pasti sangat imut! Kami sangat menantikan kehadirannya. Mama misalnya, sejak minggu lalu selalu pergi ke mal untuk berbelanja baju. Bukan baju untuknya melainkan untuk adik bayi.
Lalu papa. Sekarang, papa memiliki sebuah buku tebal berisi nama-nama anak. Papa sibuk mencarikan nama yang indah untuk calon adik kecilku.Tapipapabelummemberitahukannamaitu kepada kami. Papa masih merahasiakannya.
Sementara aku? Ya, aku hanya sibuk menunggu. Aku sangat gembira begitu mengetahui akan punya adik! Soalnya, setelah umurku sepuluh tahun, baru kali ini aku akan menjadi kakak! Berarti, jarak usia kami berdua sangat jauh!
Teman-temanku sering bercerita, kalau mempunyai adik itu sangat tidak menyenangkan. Adik itu manja, suka cari perhatian, cengeng, dan sering mengadu. Dia juga kecil dan tidak asyik diajak bermain. Tapi aku buang jauh-jauh pikiran negatif itu. Aku yakin, adikku tidak seperti itu.
***
Hari sudah mulai beranjak sore. Saat aku dan papa asyik mengobrol tentang novel-novel terbaru di beranda, tiba-tiba mama datang dengan pakaian rapi. Mama terlihat cantik sore itu.
“Mau ke mana, Ma?” tanya papa mengalihkan pandangan dariku.
“Mau ke mal, Pa.”
“Ngapain di mal?” tanya papa lagi.
“Hati Mama berkata ingin berbelanja, Pa,” kata mama sambil tersenyum. Aku cekikikan sendiri. Mamaku ini ada-ada saja. “Bukannya kalau ibu hamil itu kemauannya harus dituruti, Pa? Nanti anaknya ngeces terus, lho? Papa enggak mau, kan?”
“Bukannya Papa melarang. Mama, kan, sudah capek. Seharian mengurus kamar untuk adik bayi. Mama harus sayang sama diri Mama dan adik di perut,” kata papa dengan bijak mengingatkan.
“Lagi pula dari kemarin Mama ke mal terus,” aku mengutarakan pendapat. “Dan yang dibeli pasti baju bayi. Kalau tidak, dot bayi, pokoknya perlengkapan bayi.”
“Insya Allah Mama kuat, Pa,” mama tersenyum. “Mama belum capek.”
“Kalau terjadi apa-apa bagaimana?” tanya papa.
“Naudzubillah ... jangan bilang begitu, dong, Pa,” tegur mama sambil cemberut. “Ucapan, kan, doa. Jangan bilang begitu, ah.”
“Astaghfirullah,” papa mengelus dada. “Kalau begitu, papa temani saja, ya. Papa ganti baju dulu.” Papa berlalu ke dalam kamar untuk mengganti baju.
Mama menatapku.