Susuk Jaipong

silvi budiyanti
Chapter #2

Bab 2

Sudah tiga bulan ini aku menganggur di rumah, pagi bantu emak beres-beres rumah, siang hanya menemani adik saja di rumah, sore bantu abah ke sawah sambil mencari rumput untuk pakan ternak. Benar- benar tidak ada kegiatan dan pemasukan. Aku sedang menikmati pekerjaan sebagai seorang pengangguran baru.

"Lestari, baca geura iyeh."

(Lestari, baca dong ini)

"Naon Eta?"

(Apa itu)

"Aya sanggar jaipong anyar, keur neangan penari-penari anyar, Urang nyobaan hayuk."

(Ada sanggar jaipongan baru, sedang mencari penari-penari baru, Kita coba yuk)

"Aya duitan heunte?"

(Ada duitnya tidak)

"Nyak ayak atuh Siateh, lamun mentas lumayan Urang meunang duit jajan."

(Ya ada dong Kamu itu, kalau pentas lumayan Kita dapat uang jajan.)

"Di mana jauh heunteu?"

(Di mana jauh tidak)

"Lumayan, di kampung sabeulah."

(Lumayan, di kampung sebelah)

"Hayu atuh Urang daftar isukan."

(Ayo dong, Kita daftar besok)

Ya aku harus nekat, apa pun peluang agar aku dapat penghasilan dan pekerjaan, akan aku coba dan di jalani. Kata mereka sih kalau jadi seorang sinden atau penari jaipong penghasilannya lumayan apalagi sawerannya, lumayan bisa untuk aku jajan dan adik-adikku juga. Hal biasa di sini untuk menjadi seorang penari jaipong memang sudah peninggalan dari leluhur kami. Penghasilan yang telah di turunkan dari generasi ke generasi. Tapi bagi kami yang masih baru lulus Sekolah Menengah Pertama masih banyak harus di latih untuk menjadi seorang penari terampil dan profesional. Tapi jika kami mau belajar dan berusaha, tidak ada kata yang tidak mungkin, semua usaha harus di coba.

"Mak, Neng hoyong ngiring jadi penari jaipong."

(Mak, Neng mau ikutan jadi penari jaipong)

"Neng, kumaha ari Eneng, parantos nyarios ka Abah teu acan?"

Lihat selengkapnya