"Kamu kenapa?" tanyaku ketika gadis itu membuka mata.
Pandangan mataku, ku buat sepolos mungkin seolah tidak tahu dengan apa yang terjadi hampir satu jam yang lalu. Padahal di dalam, jantungku berdetak tak terkendali karena takut gadis itu akan mengingat semuanya.
Gadis itu balik menatapku dengan pandangan linglung. Entah mengapa aku langsung jatuh iba padanya.
Bergegas ia bangun dengan wajah yang mengernyit dengan ke dua alis yang saling bertaut. Tangannya ia letakkan tepat di depan bagian tengah tubuhnya.
Sementara aku menunggu dengan harap-harap cemas, apa yang hendak dikatakannya.
"Maaf, saya kenapa, Bu?" tanyanya dengan ekspresi meringis.
Aku menggeleng pelan sambil menghembuskan nafas lega. Berarti benar apa yang dikatakan Nyi Kasmah, bahwa setiap perawan yang kutumbalkan, untuk sementara tidak akan mengingat apa yang terjadi.
"Justru saya yang ingin tahu, kamu itu kenapa? Begitu datang langsung pingsan. Untung roda makanan yang kamu bawa, gak jatuh menimpa tubuh kamu." jawabku dengan suara yang penuh rasa empati. Tentu saja semua itu hanya kebohongan belaka.
Gadis itu menatap sekeliling ruangan dengan pandangan menerawang, mencoba mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Namun sepertinya tidak berhasil.
Sungguh saat melihat wajah polos itu, di salah satu sudut hati yang terdalam, langsung terselip rasa perih yang tiba-tiba menyergap.
"Benar Bu, tidak terjadi apa-apa pada saya?" tanyanya lagi mencoba memastikan. Tangannya tampak gemetar kemudian meremas bagian tengah dari tubuhnya dengan ekspresi gusar.
Aku menatapnya lekat, gadis itu langsung menunduk seolah tidak nyaman. Baru saja hendak membuka mulut, ia kembali mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf, Bu. Mungkin saya hanya terlalu lelah saja ... " ujarnya dengan suara pelan. "Kalau begitu, saya mohon pamit. Maaf kalau sudah membuat ibu tidak nyaman. Tapi tolong, bu, jangan laporkan kejadian ini pada atasan saya, ya?" lanjutnya lagi dengan ekspresi memelas.
Aku langsung mengangguk sambil tersenyum meyakinkan.
"Terima kasih ... "
Kemudian ia melangkah pelan. Namun langkahnya terlihat sedikit aneh, seperti ada yang mengganjal di dalam sana.
Sebelum ia membuka pintu, aku memanggilnya lagi. Tak lupa kuselipkan satu gepok uang merah ke dalam kepalan tangannya.
Seketika matanya terbelalak kaget. Sedetik kemudian, ada satu bulir bening yang lolos melewati pipi. Entah heran atau senang, aku tak tahu. Yang pasti tangannya sedikit bergetar sekarang.
"Ini ... untuk apa, Bu?" getaran itu dengan cepat menjalar pada nada suaranya.
"Ambil saja ... " aku mengangguk pelan sebagai isyarat bahwa uang itu kini menjadi miliknya.
"Tapi, ini terlalu banyak."
"Tak apa, pakai untuk berobat. Mungkin kamu sakit, makanya bisa pingsan begitu. Sisanya terserah kamu, mau digunakan untuk apa." aku tersenyum ramah.
Dengan segera uang itu ia dekap depan dada lalu berkali-kali ia membungkuk sebagai ucapan terimakasih disertai isak tertahan.