"Gimana, kamu udah tenang sekarang?" tanya Amel.
Tangannya masih meremas jemari tangan kananku yang gemetar. Keringat dingin mulai membanjiri seluruh tubuh.
Aku melirik ke bawah dengan ekspresi takut. Memberi isyarat padanya bahwa makhluk itu tidak akan membiarkanku lolos begitu saja.
Amel menatap lekat, menyiratkan ekspresi bingung dengan tingkah yang kulakukan.
"Kamu kenapa? Tangan kamu kok dingin gini? Mau aku antar ke dokter?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng lemah, hampir menangis. Ku gigit bibir kuat-kuat untuk menahan isak yang sebentar lagi mungkin akan meluncur deras.
Sementara makhluk itu masih menatapku tajam dengan seringainya yang menakutkan.
"Sar ... jangan bikin aku takut!" bisiknya pelan.
"Antar aku pulang aja!" jawabku akhirnya setelah menghela nafas panjang.
"Sekarang?"
Amel mendesah, terlihat tak puas dengan keputusanku.
"Kamu yakin gak apa-apa? Katanya tadi minta diantar ke rumah Nyi Kasmah? Atau mau ke dokter dulu? Takut kamu kenapa-kenapa," tanyanya lagi meyakinkan.
"Nanti saja, sekarang bukan waktu yang tepat. Lagian aku gak enak badan, pengen istirahat aja seharian." Aku tersenyum. Namun kentara sekali bahwa senyum itu dipaksakan.
Amel menatapku seperti ada yang hendak ditanyakan. Namun aku memilih menunduk untuk menghindari tatapan juga pertanyaannya.
"Kamu nginep di apartemen aku aja, gimana? Soalnya aku khawatir ngebiarin kamu sendirian," tawarnya dengan tulus.
Sebenarnya ingin sekali ku iyakan tawarannya barusan, namun aku takut makhluk itu akan mencelakai sahabat sekaligus keluarga satu-satunya yang ku punya sekarang.
"Nanti aja ya nginepnya. Sekarang aku bener-bener pengen sendirian."
"Yakin? Tenang aja, bapak lagi gak ada kok. Lagi kontrol ke daerah. Minggu depan baru pulang."
Bapak adalah suami siri dari Amel.
Aku kembali menggeleng dengan sedikit senyum yang masih ku paksakan.
"Ya udah deh, aku antar sekarang. Tapi kamu harus istirahat ya, jangan ngambil job dulu." katanya walau terdengar seolah berat untuk memenuhi permintaanku.