Susuk Wanita Malam

Annisa Novianti
Chapter #9

Part 9

Di balik pagar tinggi dengan latar belakang rumah mewah itu, aku melihat kemesraan mereka. Kang Heri dan istrinya yang tengah hamil besar.

Pemandangan menyakitkan itu langsung saja membakar hati dan perasaanku. Padahal bukan kali ini saja aku melihatnya.

Lima tahun semenjak kepergianku dari rumah--sebelum ini, aku pernah tak sengaja bertemu mereka di sebuah pusat perbelanjaan. Pertemuan pertama setelah aku dicampakkan olehnya.

Kota besar yang disebut orang sebagai miniaturnya Indonesia ini, ternyata rasanya bagiku tidak lebih besar dari telapak tangan.

Buktinya aku masih bisa bertemu lagi dengan seseorang yang ku cinta sekaligus ku benci di sebuah ruangan yang bahkan tidak sampai seperseribu dari wilayah yang luas ini.

Aku melihat tangan perempuan itu bergelayut manja pada lengan laki-laki yang seharusnya menjadi ayah dari anak yang terlanjur ku gugurkan karena penolakannya.

Rasa benci semakin menyala-nyala. Apalagi ketika aku menyadari ada binar indah yang berkilau di matanya setiap kali melihat wanita itu. Binar yang dahulu ku sangka hanya untukku seorang.

Tanpa sadar aku mencengkeram troli dengan perasaan marah sekaligus geram, hingga membuat urat-urat pada tangan menyembul kebiruan dengan kulit memucat.

'Apa salahku?' desisku dalam hati, diiringi tangis yang sejak tadi telah membasah di sudut mata.

Air mata itu laksana taburan garam di atas luka yang belum benar-benar mengering. Perih. Pedih. Sakit, hingga ke ulu hati.

Namun si empunya dosa seolah tak menyadari. Ia begitu bahagia dengan wanita barunya. Senyumnya yang mengembang seolah menari-nari di atas luka yang kurasakan.

Ketika mereka berjalan ke arah kasir yang searah dengan tempat aku berdiri, aku malah memilih menyingkir ke belakang rak dengan maksud menyembunyikan diri.

Rasa rendah diri dan terhina begitu telak menghantam dada. Rupanya lima tahun yang ku habiskan dalam tangis penyesalan belum cukup untuk mengembalikan rasa percaya diri yang telah hancur berkeping-keping.

Mereka melenggang ke arah tempat parkir. Masih saling menggenggam tangan dengan senyum terkembang. Dan aku mengendap-endap mengikuti dari belakang.

Betapa menyedihkan!

Dengan pandangan yang mulai mengabur karena terhalang air mata, ku lajukan mobil mengikuti ke manapun mereka pergi.

Sesekali di dalam otak, setan mulai ramai menggoda agar aku tabrakkan saja mobilku ke arah mobil yang mereka tumpangi agar terjadi kecelakaan hebat.

Aku terkekeh pelan. Setidaknya bila harus mati, maka kami harus mati bersama-sama. Biar perhitungannya nanti aku bayar sekalian di neraka. Tapi untungnya, akal sehatku masih bekerja. Aku hanya mengikuti mereka sampai turun di rumah.

Selepas kejadian itu, aku mengadu pada Amel. Ku tumpahkan tangis penuh luka dengan rasa pedih yang merobek dada.

Aku bersedih sekaligus senang diwaktu yang bersamaan. Sedih karena Kang Heri telah benar-benar melupakanku. Membuangku dari ingatannya bagai sampah busuk yang tak berguna.

Sementara rasa senang yang ku rasakan, akhirnya aku menemukan celah untuk balas dendam setelah sekian lama memendam penderitaan dalam diam. Hingga kemudian Amel membawaku untuk menemui Nyi Kasmah.

Rupanya api cinta yang dahulu pernah begitu membara, sekarang tinggal sekam yang belum benar-benar padam. Hanya menunggu waktu ia akan kembali membesar dan membumihanguskan si empunya gara-gara.

Lihat selengkapnya