Umurku kini genap tujuh tahun. Sudah menjadi agenda tahunan, keluarga besar menyiapkan pesta meriah untukku. Anak pertama dan satu-satunya cucu di keluarga robusta.
Papaku seorang sinder perkebunan kopi dan karet. Orang memanggilnya Pak Suryo. Meski masih pemula dan terbilang sangat muda, dengan mudah Papa menduduki posisi jabatan strategis karena eyang kakungku seorang direktur di perusahaan yang sama.
Ini adalah hari yang kutunggu. Detik dimana pada tahun-tahun sebelumnya aku sangat menikmati setiap waktu yang berjalan. Saat diriku dirayakan.
Dari bilik kamar kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri. Gaun merah muda berhiaskan pita. Bandana kupu-kupu mengayun seirama dengan langkahku yang kecil. Cahyane sumunar1 dari lesung pipit dan senyumanku yang ceria. Membuat mata yang melihat akan sepakat bahwa hari ini aku cantik paripurna.
"Aku ayu to, Kung," ucapku pada seorang lelaki yang selalu menuruti mauku. Kukibaskan rok yang mengembang bak gaun putri kerajaan.
"Jelas, to. Uayu tenan iki widodariku2."
Eyang Kakung mengenakan beskap terbaik dari penjahit ternama di Ibu Kota. Sedangkan Eyang Putri, seperti biasa selalu mengenakan kutu baru dan jarik yang anggun. Hari ini Eyang Putri memilih warna senada dengan pakaian Eyang Kakung. Kainnya dipesan khusus dari saudagar terkenal di Pasar Pahing. Susuk rambut berhiaskan safir berwarna biru bertengger di sanggul yang ditata rapi. Tak ketinggalan, sepasang anting cantik dengan batu yang sama dan peniti terbuat dari emas murni.
Dalam keseharian, tak banyak orang yang berani mengajak Eyang Kakung berbincang. Setiap kali berpapasan, mereka hanya merunduk. Tidak berani menatap. Mungkin karena ekor kumis panjang dan alis Eyang Kakung yang menukik tajam.
Ruang pesta telah dipenuhi tamu undangan. Eyang Kakung menggandengku menuju ke ruangan. Papa Mama yang lebih dahulu berdiri di belakang kue tar susun tiga meraih tanganku. Pesta dimulai.
Semua tersenyum padaku. Rona bahagia yang kutangkap dari tiap mata yang menyipit karena tawa. Kecuali Mama, sejak tadi kulihat hidungnya memerah.
Intuisiku sangat kuat. Sebelum masuk ke ruang pesta, aku sempat bertanya mengapa Mama menangis. Ia hanya menjawab sedang flu. Jawaban serupa dari Mama saat orang lain bertanya. Aku menangkap kebohongan dari jawaban itu. Sampai pesta dimulai, aku belum tahu penyebab Mama menangis.
Ruang tamu disulap menjadi gedung cantik ala-ala hotel bintang lima. Di bawah ratusan balon yang menghiasi ruangan, semua mulai bersorak. Aku meniup lilin dan memotong kue sejalan dengan alunan lagu yang dinyanyikan. Suara nyanyian puluhan tamu undangan yang datang, menambah kemeriahan pesta ulang tahunku.
Potongan kue pertama kuberikan pada Mama. Ciuman sayang mendarat ke pipi dan keningku. Disusul dengan sepotong kue yang disuapkan Mama dan Papa padaku. Aku menuruti setiap perintah juru kamera, untuk dijadikan dokumentasi.
Mamaku seperti jebolan aktris Ibu Kota. Aktingnya luar biasa. Tidak ada yang menangkap signal kesedihan dalam senyumnya kecuali diriku. Aku terus mengamati senyum palsu mama tanpa sepengetahuannya.
“Sayang, pilih satu kado, ya. Kita ambil video dengan tamu dari kado yang Kamari pilih,” ucap pembawa acara memintaku.
Mataku mengarah pada sebuah kado kecil yang berhiaskan kupu-kupu. Hewan lucu yang selalu berhasil merebut hatiku, mengalihkan minatku dari kado besar lainnya.
Namun, saat aku berhasil mengambil kado yang kusuka. Papa menyodorkan sebuah kado yang lain. Mengganti kado yang telah kupilih.
“Yang ini saja. Pasti isinya lebih bagus.”