Papa mengeluarkan jeep cherokee dari kandangnya, mobil baru yang dibeli oleh Eyang Kakung tahun kemarin. Dipinjamkan khusus oleh Eyang Putri untuk mengangkut kado ke rumahku.
Aku tak lagi menginap di rumah Eyang. Sore hari selesai acara, Papa buru-buru mengajak kami berkemas dan bergegas mengajak kami pulang. Kata Papa, agar kami tidak melewati hutan jati yang panjang di malam hari. Mama duduk di kursi depan, sedangkan aku duduk dengan tumpukan kado di kursi belakang.
Jalanan dari rumah Eyang Kakung ke rumah dinas Papaku sedikit terjal. Beberapa jalan belum diaspal. Sebagian yang lain, aspalnya sudah tidak berbentuk lagi karena tipis dan material jalan sering terbawa arus air hujan. Mengendarai mobil Eyang Kakung lebih minim guncangan dibanding transportasi lain. Serta meminimalisir rusaknya kadoku bila sewaktu-waktu hujan turun.
Saat kami berpapasan dengan buruh perkebunan dalam perjalanan pulang, mereka selalu menghentikan aktivitas sejenak dan berdiri merunduk pada kami. Entah rasa hormat yang ditujukan pada Papaku atau para buruh mengira di dalam mobil ada Eyangku.
Aura jelang magrib yang mempesona. Warna lembayung yang selalu kunantikan. Kicauan burung dari semak dan persawahan menghidupkan suasana dalam mobil yang sejak tadi sunyi. Saat melintas kebun kopi, aroma bunganya begitu segar. Sayang bila diabaikan begitu saja. Musim bediding menjadikan sore ini lebih dingin dibanding hari lain. Sedingin suasana di dalam mobil.
Mama terbiasa membicarakan apa saja yang ada di depannya. Bahkan, sekilas melihat daun jati kering. Bisa tercipta sebuah dongeng asal mula daun jati berwarna merah dari awal sampai tamat. Kebaikan orang juga bisa diceritakan tuntas hingga akarnya saat Mama aktif berbicara. Namun, suasana kali ini berbeda. Hening. Bahkan sangat mencekam seperti prolog film horor saat hendak masuk ke kawasan hutan angker.
"Mamamu kenapa to, Ri? Kok tumben. Aksi ndrememel e4 diambil alih burung-burung sawah iko. Maleh mueneng, anteng koyok Putri Solo5," ucap Papa memecahkan keheningan.
Mama melempar pandangan ke luar sisi kiri jendela. Tidak menyahut candaan Papa.
"Sisa makanan ringan untuk tamu tadi, jadi dibawa pulang, Pa?"
"Jadi, Papa masukkan ke kardus belakang."
"Nanti kubagikan ke anak-anak Si Mbok, ya."
"Oke."
Papa terseyum lebar padaku melalui kaca spion. Sesekali, kutangkap Papa menengok pandangan ke arah Mama. Namun, tak disadari oleh Mama yang terus menatap ke luar mobil.
Langit lembayung semakin meredup. Aku telah melewati hutan kopi, hutan jati, ladang nanas, persawahan dan hutan karet. Melintasi gerbang yang dijaga oleh beberapa satpam. Di dalamnya berdiri puluhan rumah saling berhadapan sepanjang jalan dengan warna senada. Pertanda kami memasuki daerah pabrik dan semakin dekat dengan rumah.
Bersamaan dengan azan berkumandang, mobil kami memasuki bangunan belanda tua yang memiliki pekarangan luas. Pagarnya alami dari tanaman boxwood yang ditata dan dibentuk rapi. Beberapa tanaman hias dan pohon cemara kipas turut menghiasi pekarangan. Tertulis pada dinding rumah, No. 24. Aku telah sampai di depan rumah dinas Papa.
Tak berselang lama, Kedatanganku disambut si Mbok dan suaminya. Jarak rumah Eyang dan rumahku memang terbilang dekat. Tak sampai puluhan kilometer. Bila ditempuh dengan mobil, tidak sampai sepuluh menit.
Si Mbok dan suami sudah membersamai kelurga kami sejak awal pindah ke rumah ini. Usia mereka 50 tahun lebih sedikit. Sesekali si Mbok tinggal di rumah dengan bangunan khas Belanda yang aku tempati. Namun, lebih seringnya pulang ke rumah perkebunan yang telah disiapkan khusus untuk para buruh. Anaknya tiga, masih tingkat SD semua. Ragilnya seumuran denganku. Si Mbok menikah saat mendekati usia 40. Sehingga anak-anaknya masih kecil meski usia sudah kepala 5.
"Tolong dibawa ke belakang, Mbok. Untuk kadonya, tolong dibawa ke ruang tengah."
Dalam sekejap, beberapa tas berpindah dari tangan Mama ke tangan si Mbok. Untuk pertama kali aku mendengar suara Mama sepulang dari rumah Eyang.
Aku tak sabar ingin membuka semua kado-kadoku.