SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #4

Rumah Petak Para Buruh

Hari Minggu. Sekolah libur. Papa membangunkanku untuk ikut bersamanya naik sepeda.

"Papa mau naik ke perkebunan atas, Kamari mau ikut?" Papa bertanya lirih pada diriku yang masih merasakan kantuk.

Kuintip, Papa telah berpakaian rapi. Mama juga telah meninggalkan ranjang.

Aku meminta waktu lima menit pada Papa untuk salat. Lantas bergegas menyiapkan diri dan menyusul Papa ke teras depan.

"Kita mau ke mana, Pa?" tanyaku penasaran. Aku telah mengganti baju dan memakai helm pemberian Papa satu bulan lalu.

"Ke tempat asyik dan menyenangkan tentunya."

Tampak Mama di halaman depan mengenakan apron coklat dan topi lebar motif bunga-bunga. Tangannya memegang sebuah gunting dan beberapa alat berkebun yang tergeletak di bawah, samping Mama. Sebelum pergi, aku meminta izin kepada Mama. Namun, Mama tak seperti kemarin malam. Wajahnya kembali masam.

"Aku bersepeda dulu, Ma."

"Hem." Mama menjawab singkat.

Mama tidak melihat diriku, mengabaikan tangan yang telah kusodorkan. Tubuh yang cantik itu justru berbalik dan memunggungiku. Berpindah ke bunga yang lain.

Aku hanya bisa menyimpan kesal dan tanya dalam hati, kenapa lagi Mama?

Salah satu bahagiaku adalah melihat ekspresi wajah Mama yang terlihat riang. Namun, beberapa hari ini bahagiaku naik turun karena sikap Mama yang tak menentu. Terkadang sedih, terkadang senang, terkadang marah dan terkadang menyebalkan.

Aku lebih suka Mama mengomel melarangku bermain ini itu. Dibanding mengiyakan sesuatu. Namun, sikapnya dingin. Aku jadi serba salah dengan pikiranku sendiri. Apakah Mama benar memberiku izin? Atau, sikap dinginnya agar aku tidak berangkat?

"Ayo, Kamari! Sepedamu sudah Papa siapkan!"

Teriakan Papa memecah teka-teki dalam pikiran. Kutinggalkan Mama walau aku tidak diberi kesempatan mencium tangannya.

Kukayuh sepeda tepat di samping Papa.

Dari rumah berbelok ke kanan melewati jalan setapak. Belok kanan menyusuri kebun kopi yang cukup panjang. Namun, jauhnya jarak terbentang tidak begitu terasa karena kukayuh sepeda dengan santai.

Belok kanan lagi, kali ini melewati hutan karet. Aku melihat beberapa orang memikul hasil menderes pohon karet. Jarak kami dengan para buruh cukup jauh. Kami hanya melihat saat melintas. Tidak saling sapa.

Di hutan karet, jalan sedikit naik turun dan berkelok. Pada jalan yang sempit, aku bejalan di depan Papa.

Jalan yang kulewati memang bukan jalan umum. Jalan ini biasa digunakan oleh para pekerja untuk mengangkut hasil karet. Papa dan aku terbiasa lewat jalan ini saat bersepeda karena pohonnya rimbun. Sedikit meredam panasnya matahari di siang hari. Jalannya terbilang mulus meskipun belum beraspal.

Kurang lebih sepuluh menit kami menyusuri hutan karet. Sebelum akhirnya bertemu jalan utama.

Keluar dari kawasan hutan, Papa berbelok ke rumah para buruh.

Nampaknya, tak asing dan sepertinya aku pernah singgah di daerah ini.

Saat berbelok kembali ke kiri. Aku baru teringat. Rumah Suci. Ternyata Papa mengajakku kembali ke tempat ini.

Terdapat segerombolan wanita yang sedang mengobrol di posko pojok. Entah apa yang dilakukan ibu-ibu di sana.

Dari depan rumah Suci, aku melihat seorang wanita keluar dari kerumunan itu. Berlari kecil mendekat ke arah kami. Tante Rani.

Tante Rani mempersilakan Papa dan aku untuk masuk ke rumahnya.

Lihat selengkapnya