SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #5

Mengkal

Dua bulan selepas hari ulang tahunku.

Hari itu bukan kali terakhir Papa mengajakku mengunjungi rumah Suci. Sepertinya, Lebih dari sepuluh. Namun, bila hanya sekadar mampir atau minum teh. Aku tak lagi bisa menghitung saking seringnya.

Pertemuan ke-4, kami hanya sekadar mampir. Saat itu turun hujan dan kami menumpang berteduh.

Pertemuan ke-5, untuk pertama kali aku berjumpa dengan bapaknya Suci. Saat itu kami baru mengetahui. Selain menjadi buruh, bapaknya Suci memiliki keahlian membuat perabotan rumah.

Pertemuan ke-6, Papa mengajak ke sana untuk memesan meja belajar untukku.

Pertemuan ke-7, kami mengirim bahan-bahan keperluan membuat meja belajar dari kota. Mama turut serta dalam mengirim bahan itu ke rumah Suci.

Pertemuan ke-8, waktu itu sore hari. Aku sekadar ikut Papa, lantas asik bermain sendiri dengan Suci. Sedangkan Papa dan Tante Rani mengobrol di rumah.

Pertemuan ke-9, kesana untuk mengecek progres meja belajarku.

Pertemuan ke-10, mendapat undangan dari Suci menghadiri acara di rumahnya. Aku diajak makan-makan. Seluruh keluarganya berkumpul. Aku bahkan dikenalkan kepada Om, Nenek dan sepupunya. Namun, aku ke sana hanya dengan Papa. Mama tidak ikut.

Pertemuan lainnya, Aku semakin tidak ingat. Saking sering dan rapatnya Papa mengajakku ke sana. Papa selalu sibuk sendiri di rumah petak itu. Mengobrol dengan Tante Rani.

Bahkan sempat aku mereguk sepi sendiri. Memperhatikan Papa asik mendengar cerita Suci dengan penuh antusias. Sedangkan saat aku hendak bercerita, Papa memotong ceritaku. Meminta aku melanjutkan cerita saat di rumah. Aku dongkol pada Suci. Waktuku bersama dengan Papa, direbut olehnya.

Kemarin Minggu, terakhir kali Papa mengajak ke sana. Mengingat hari itu, perasaanku masih kesal. Aku menolak ajakan Papa untuk pertama kalinya. Papa terus membujuk dan mengiming-iming sebuah hadiah. Aku sama sekali tidak tertarik.

Hari Minggu kembali datang. Papa menawariku untuk melihat atraksi lumba-lumba di pusat kota. Iklan acara itu memang disebar di mana-mana. Sebelum Papa bercerita tentang acara itu, aku terlebih dahulu mengetahui dari brosur yang dibagikan di depan gerbang sekolah. Saat mendapat tawaran dari Papa, aku langsung menerima ajakan tanpa berpikir panjang.

Betapa kagetnya aku, saat di jalan Papa tidak langsung menuju kota. Papa justru mengambil arah menuju atas bukit.

“Bukankah seharusnya belok kiri, Pa?”

“Kita jemput Suci dulu. Kasihan dia. Bapaknya hanya seorang buruh. Untuk ke kota saja mungkin dia belum pernah. Pasti dia akan senang kalau kamu mengajaknya melihat lumba-lumba.”

Bahuku merosot. Bibirku monyong 1 cm ke depan begitu saja. Bukan aku tak suka berbagi dengan temanku. Namun, aku merasa ini terlalu berlebihan. Papa selalu membagi apa yang aku punya untuk Suci. Membelikan hadiah yang serupa dengannya. Hari ini, kukira aku bisa bebas jalan berdua dengan Papa tanpa Mama ikut serta. Nyatanya aku salah. Lagi-lagi aku harus membagi kebahagiaan dengan orang lain. Tahu begitu, Mama tidak kucegah ikut. Lebih baik aku jalan bersama dengan Mama dibanding dengan Suci.

Tiba di depan rumah Suci, aku hanya diam dan tetap duduk di kursi depan. Papa memintaku pindah ke kursi belakang untuk menemani Suci. Aku tak mau.

Perjalanan dari bukit ke pusat kota sekitar satu jam. Dalam waktu itu, Papa lebih banyak bertanya kepada Suci yang ada di belakang. Dibandingkan dengan aku yang duduk di sebelah Papa.

Papa membelikan kami tiket VIP. Duduk di bagian depan dan mendapat kesempatan berfoto dengan lumba-lumba.

Sepanjang pertunjukan aku seakan lupa tentang perasaan dongkol yang sejak tadi membebani. Aku bisa melupakan hal itu dalam waktu sekejap.

Aku begitu menikmati pertunjukan. Bahkan aku mendapat hadiah boneka dari petugas karena berani naik ke atas podium dan memberi makan ikan kecil kepada lumba-lumba.

Kupamerkan boneka anjing yang lucu itu kepada Suci. Sempat kupinjamkan kepada Suci sebentar, agar dia bisa merasakan lembutnya boneka baruku. Sebelum akhirnya kami berfoto dengan lumba-lumba dan kembali pulang.

Lagi dan lagi. Papa tidak berada di pihakku. Saat Suci turun dari mobil, Papa meminta boneka anjingku untuk diberikan padanya. Sebagai oleh-oleh dan kenang-kenangan kata Papa.

“Mengapa harus boneka ini? Tadi Suci sudah dapat foto, to?” ucapku berusaha menolak. Sebelumnya Papa telah meminta foto bersama lumba-lumba untuk diberikan kepada Suci semua. Kuberikan tanpa berkata apapun. Pikirku, sebelumnya aku sudah punya foto dengan lumba-lumba di Taman Safari bersama Mama. Maka kuberikan saja foto itu. Namun, harus memberikan boneka lucu ini? Hatiku dongkol kembali.

“Ini hanya boneka kecil. Bukankah Mama tidak suka hewan anjing? Bagaimana nanti kalau Mama marah?”

Aku diam sejenak. Tidak menjawab rayuan Papa. Wajahku menggelembung sebal.

Lihat selengkapnya