SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #6

Bantal Petaka

Sejak kejadian malam itu. Aku tak pernah lagi melihat Papa tidur di kamar besarnya.

Mama bilang, kehamilannya sensitif. Tidak bisa mencium aroma keringat Papa. Selalu mual dan muntah katanya. Papa memilih tidur di kamarku.

Selain itu, aku juga jarang berjumpa dengan Papa. Perkebunan sedang panen raya. Banyak pekerjaan yang harus diawasi.

Seringkali Papa berangkat saat aku belum bangun dan pulang saat aku sudah tidur. Delapan bulan ini aku jarang sekali bertemu dan mengobrol dengannya.

Pagi ini, Mama mengeluh perutnya kram. Usia kandungan Mama sudah lewat seminggu dari perkiraan lahir. Eyang Putri sejak seminggu lalu sudah tinggal di rumahku. Menanti kelahiran adik bayi.

"Apel merah kesukaanmu, Kamari. Sudah Yangti kupas."

Tak kuperhatikan tawaran Eyang Putri. Aku asik sendiri dengan mainan skuter. Rumah belanda yang luas ini, membuatku betah bermain di dalam rumah.

Di dalam kamar, Mama sedang bertaruh nyawa. Dibantu oleh bidan desa setempat. Jarak rumah kami ke rumah sakit kota sekitar satu jam. Mama tak menghendaki lahiran di sana. Ingin di rumah saja. Mama berusaha melahirkan secara spontan.

Papa sibuk keluar masuk kamar. Sesekali membawa air hangat dari dapur.

Senyap, tidak kudengar teriakan rintihan kesakitan seperti sinetron yang kerap ditonton oleh Mama. Hanya suara mendesah dan mengaduh pelan yang disusul bacaan istighfar.

Papa sering lupa menutup pintu kamar. Walaupun begitu, Aku tak berani mengintip. Eyang Putri bilang, itu tidak sopan.

Aku tetap bermain skuter di dalam rumah bagian depan.

Tak lama, kudengar tangisan seorang bayi. Kusandarkan skuter ke dinding. Eyang Putri seketika berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Berhenti di depan pintu kamar.

"Lelaki." Ucap bidan desa dari dalam kamar.

"Alhamdulillah, bilang pada Papamu di dapur. Adikmu sudah lahir."

Rona bahagia dari wajah Eyang Putri. Kepalan tangan di dadanya tanda kebahagiaan penuh syukur.

Aku tak kalah bahagia dari Eyang Putri. Kutemui Papa dan kukabarkan tentang jenis kelamin adikku.

Papa mematikan kompor dan bergegas ke kamar mandi, mengambil wudu.

Hari itu, semua orang bahagia.

Dalam sekejap, rumahku dipenuhi tamu. Silih berganti menengok kehadiran sang bayi.

Semua memuji ketampanan adikku. Mirip mamaku katanya.

Mama masih terlihat layu di atas dipan berselimut kelambu. Si Mbok membantu segala kebutuhan Mama dan keperluanku. Sesekali membawa adik bayi, diserahkan Mama untuk disusui.

Aku tak dapat menghitung dan mengenali siapa saja tamu yang datang.

Mungkin para saudara, kolega, tetangga atau buruh pekerja.

Namun, siang, hari ke tiga setelah kelahiran adikku. Aku mengenali siapa yang datang. Tante Rani. Ia datang bersama suami tanpa Suci ikut serta.

Ditangannya memegang sebuah kantong plastik berisi kado cukup besar. Pakaiannya rapi, modern, rambut hitam terurai cantik. Sendal high heels yang senada dengan kebaya yang dikenakan, menambah proporsional tinggi badan dengan tubuh sintalnya. Namun, keindahan yang dipamerkan sedikit jomplang dengan pakaian yang dikenakan lelaki di sampingnya. Sang suami sangat sederhana dan memakai sandal japit biasa. Orang yang baru mengenal, mungkin tak mengira bahwa itu suaminya.

Lihat selengkapnya