SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #7

Gulung Tikar

Aku laksana dinding. Mendengar dan menyaksikan semua keributan. Namun, tak bisa berkata, bertanya atau mendapat jawaban dari semua kerumitan di depan mata.

Bagi mereka, aku hanya anak kecil yang tidak memiliki rasa dan kemampuan berpikir. Cukup diam dan patuhi semua perintahnya. Maka secara otomatis label anak baik melekat dalam diriku. Tentang perasaanku? Persetan, itu tidak penting. Selagi tidak merengek dan tidak menagis. Maka semua dianggap aman dan baik-baik saja.

Belum terjawab semua tanya dalam pikirku akan kemarahan Mama. Pagi ini, keributan datang kembali.

Seorang lelaki menyelonong masuk ke halaman rumah. Datang tanpa permisi dan salam. Menggedor-gedor pintu tanpa jeda. Berteriak kencang menyebut nama Papa. Mata melotot, tangan mengepal kuat. Seperti menggenggam batu kerikil kecil yang tak ingin ia lepaskan.

Aku yang sedang duduk di ruang tengah. Berlari. Bersembunyi di balik kain korden ruang tamu dan ruang tengah.

Ibu yang baru selesai menidurkan adikku. Tergopoh keluar kamar dan mendatangi sumber suara.

Si Mbok bergegas mendekat padaku. Memeluk dan ikut mengintip. Mencari tahu apa yang terjadi di rumah besarku petang ini.

Singkat cerita dari rangkaian adu mulut Mama dan orang itu. Aku menampung informasi, Papaku menawarkan jasa interior rumah. Lelaki paruh baya dengan postur tinggi besar tersebut menagih mebel yang tak kunjung diselesaikan oleh Papa. Uang telah dikirim puluhan juta sebagai DP. Namun, lebih dari tiga bulan. Tak ada kabar dan kejelasan tentang penyelesaian pekerjaan.

Mamaku terpaku. Aku melihat kebingungan dalam raut wajahnya. Sepertinya Papa mendirikan usaha tanpa sepengetahuan Mama. Namun, bukan Mama bila tak bisa menyembunyikan perasaan. Mamaku berusaha menutup rasa marahnya dengan berakting mirip artis sinetron idolanya. Dengan tenang, Mama seolah mengetahui semua duduk permasalahan yang sedang dihadapi. Memberi penawaran uang akan dikembalikan 100% dalam waktu satu bulan bila tidak selesai. Lelaki itu langsung pergi dengan tawa kemenangan.

"Are you OK, Ma?" tanyaku.

Istana tempat tinggalku berubah menjadi neraka. Kesejukan aroma bunga kopi seketika musnah. Menghilang bersama bayangan tamu tak diundang. Hanya tersisa aku seorang diri merasakan dingin tanpa peluk. Aku rindu. Ingin berselimut kasih di gelap dan dinginnya malam, bercerita apa saja. Namun, surga itu terus diam tak menoleh padaku. Surgaku yang lain pun sama. Entah berapa kali surya terbit dan tenggelam. Bayangnya tak jua datang memberi penjelasan.

***

Minggu ketiga, Mama menitipkan adikku yang masih bau kencur dan dempulan bedak dingin pada si Mbok. Tak dihiraukan pantangan keluar rumah sebelum selapanan11.

Mengenakan celana jeans pensil. Dipadukan dengan blouse sepinggang. Mama sama sekali tidak terlihat baru saja melahirkan.

“Nduk Hayati, hati-hati.”

“Nitip adik dulu ya, Mbok. ASI sudah kusiapkan di lemari pendingin, tinggal menghangatkan. Semoga cukup untuk lima jam ke depan. Syukur bisa selesai lebih cepat.”

Kendaraan roda tiga mulai melaju meninggalkan bangunan belanda tua yang masih terawat dengan baik. Aku dan seorang bidadari duduk dengan khitmat di kursi depan. Senyum merekah dari bapak paruh baya di atas kursi kemudi tepat di belakang kami. Pancarkan nikmat rejeki yang akan ia terima pagi-pagi.

Suara besi beradu nyaring saat benda mirip cincin yang diikat dengat karet hitam bekas ban di tarik menggunakan ibu jari. Dua kali terdengar. Kendaraan mulai berjalanan perlahan, setelah pedal dikayuh kuat.

Lihat selengkapnya