SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #8

Saka

Bagiku, kepercayaan telah mati sejak pesta ulang tahun ke tujuh digelar. Waktu dan semua tentang keluarga ini hanya sebuah kepura-puraan agar terlihat baik-baik saja. Selebihnya, semua memiliki rahasia perasaan yang disimpan rapat.

Menuju umur delapan, memori ingatanku diisi beberapa hal penting. Keluarga, teman, permainan, sekolah dan rumah. Selain itu, hinggap pula perasaan dan ingatan tidak penting. Semak bambu di tepian sungai di pelosok desa. Di sampingnya berdiri sebuah bangunan dari bambu. Tiap kesana, nyaris tak pernah sepi dari pengunjung. Puluhan lelaki memenuhi tempat di dalam maupun di luar bangunan. Lantunan lagu yang berkumandang dari radio, menambah riuh tempat yang tak jauh dari penambangan pasir liar. Sepasang suami istri pemilik warung, bekerja keras banting tulang membuka warungnya 24 jam tanpa bantuan orang lain. Sang istri menyiapkan segala sesuatunya di dekat kompor. Sang suami menjadi petugas antar pesanan dan membersihkan meja para pelanggannya.

Aku semakin sering mengikuti kegiatan Papa di luar rumah. Tempat ini salah satunya. Aroma kuat tembakau menusuk hidung membuat diriku lebih sering memilih keluar dari kepadatan ruang. Menepi sendiri, menikmati suara gemericik anakan sungai. Aliran sungai yang berada tepat di seberang warung lebih kecil dibanding sungai tempat penambang pasir. Sungai kecil itu lebih cocok disebut parit.

Hari ini berbeda, aku tidak bermain di aliran sungai tersebut. Sayang sekali bila seragam sekolah merah putihku terkena lumpur atau lumut.

Seseorang datang dan duduk tepat di samping Papa. Pandanganku yang sedari tadi menekuri gelas kaca berisi susu putih kembali terangkat, memperhatikan sosok lelaki itu.

Jaket kulitnya tebal. Aroma khas kayu-kayuan, rerumputan, hingga akar wangi seketika menarik perhatian. Parfum dengan aroma woody yang kuat meredam aroma tembakau yang tak bisa kunikmati sedari tadi.

“Hai, Bos Sinder. Siang-siang bukannya di kantor, malah mangkir ke sini.”

Tangannya menepuk bahu kiri Papa. Lepek yang sedang dipegang Papa sedikit terguncang. Namun, air kopi di atasnya aman tidak sampai tumpah.

“Saatnya kerja, kerja. Saatnya ngopi, ya harus ngopi. Bukannya begitu, Bro?”

“Betul itu, tumben pinter,” sahut lelaki dengan badge nama tertulis Supardi saat jaketnya dilepas. “Masih tinggal di rumah Belanda tua itu?”

“Masih, mau mampir?” tanya Papa setelah menyesap habis kopi panasnya dengan lepek.

“Sampai kapan tinggal di rumah milik perusahan? Upgrade dong, ke rumah gedongan bertingkat milik sendiri. Ingat, anakmu dua.”

Papa seperti tak mendengar. Matanya terpusat ke gelas kopi yang ia tutup menggunakan lepek. Tak lama, tawanya menyembur.

“Mampir tinggal mampir saja. Tidak perlu mengungkit pemilikan rumah,” kata Papa sambil membuka tudung saji berbahan plastik. Di dalamnya berisi aneka gorengan yang masih hangat.

“Eh, jangan salah. Kamu sudah kerja di pabrik itu berapa tahun? Sebagai kawanmu, tentu aku akan memberi nasihat terbaik. Jangan sampai seperti Bapakmu. Mendekati masa pensiun, baru punya rumah pribadi.”

Sepotong onde-onde di tangan kanan, Papa menunda suapannya. “Tahu apa kamu soal Bapakku?”

“Bapakmu itu pejabat yang terlalu jujur. Andai dia mengikuti cara main teman-teman setingkatnya, tentu hidupmu sekarag tak harus jadi budak perusahaan. Kaya tujuh turunan.”

Papa tersenyum lebar, “Justru itu yang aman, kan? Ingat Pak Sunardi? Perkara menghilangkan satu 0 di belakang angka, harus rela dimutasi ke luar Jawa.”

“Apa bedanya dengan Bapakmu? Dia lagi mujur saja, lolos dari angka-angka. Namun, anak semata wayangnya berhasil melenggang ke posisi penting.” Supardi terkekeh. Dengan tangan kanannya, ia meraih botol minuman soda, membuka dengan alat yang digantung pada paku yang mulai berkarat. Meneguknya sedikit. “Bapakmu tak kalah busuknya denga Pak Sunardi. Hanya beda sesuatu yang dicuri.”

Sisi gelap Eyang Kakung menjadi bagian penting yang masuk memori ingatanku. Papa dan rekannya terus berbincang tentang orang sekelilingnya tanpa memedulikan diriku yang duduk tepat di sampingnya. Aku terpaksa mendengar dari awal sampai akhir percakapan.

Lihat selengkapnya