SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #9

Teman Setan

Walau sering dijemput dan mampir ke tempat yang terbilang baru untukku. Aku masih dapat mencipta rasa nyamanku sendiri. Aku dapat mencari kebahagiaan di tengah kesibukan Papa. Namun, kali ini berbeda. Semenjak hilangnya Papa hampir satu bulan, sekarang tempat-tempat yang dikunjungi Papa terasa aneh dan janggal.

Warung semak di tepian sungai, rumah tua yang hampir roboh di desa terpencil, rumah kosong di dalam gang sempit dan bahkan petilasan seorang tokoh ternama yang sekarang jarang dikunjungi wisatawan. Anehnya, setiap kali Papa mampir, tempat-tempat sepi itu berubah dari yang sebelumnya sepi menjadi ramai. Seperti tempat khusus yang dijadikan tempat janji temu.

“Tempat apa lagi ini, Pa?” tanyaku penasaran.

Papa menoleh ke arahku, “Kamu bisa tetap di dalam mobil. Kalau takut sendiri, ikut dengan Papa masuk ke sana. Tapi harus janji tidak boleh rewel dan tanya-tanya tentang apapun.”

Aku takut sendiri. Tanpa berpikir dua kali, aku ikut turun mengikuti Papa.

Aroma bunga kamboja dan kantil yang khas. Aku melihat sekeliling tak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Pohon asam menjulang tinggi. Butuh dua atau tiga orang memeluk batang besar itu untuk mengukur keliling lingkaran pohon. Rantingnya bercabang keseluruh penjuru, menaungi patok-patok nisan yang berjajar rapi di bawahnya. Tidak pernah aku membayangkan, Papa yang memiliki jabatan Sinder. Melakukan rapat di sebuah pemakaman.

Melangkah menyusuri jalan yang berada tepat di tengah pemakaman. Jalan ini kecil. Lebarnya sekitar satu setengah meter. Membelah area pemakaman menjadi dua, kanan dan kiri. Diujung, ada sebuah tanaman tebu. Kukira ujung pemakaman ini. Namun, setelah melewati persawahan tebu. Aku melihat pemakaman serupa. Bedanya, tidak ada pohon asam. Melainkan sebuah bangunan bercungkup dengan aksen kayu, lantai keramik warna biru dan tertancap dua batu berukuran besar sebagai nisan di bawah bangunan itu. Bulu kuduk pun berdiri. Tubuh menggeliat tanpa permisi.

Mulut terasa ingin protes sejak pertama kali mata menatap dan mengunci pandangan pada bangunan ini. Namun, teringat janji kepada Papa yang harus kutepati. Meski dalam perasaan campur aduk, kukuncir mulutku untuk tak berkata sedikitpun. Aku hanya bisa mendekap kedua tanganku sendiri.

“Apa kataku? Uang yang terbakar seminggu kemarin. Akan cepat kembali jika kamu konsisten mengikuti apa perintahku,” cetus Supardi.

Lelaki yang pernah kujumpai beberapa hari yang lalu di warung. Hari ini ia kenakan kaos street warna hitam. Terdapat gambar putih seorang lelaki gondrong membawa gitar di bagian tengah kaos. Dipadukan dengan celana warna coklat sepanjang lutut. Rambut klimis anti badai. Tak ketinggalan kacamata hitam menutup kedua bola matanya.

“Balik modal, tapi hanya separuh. Tidak seratus kali lipat seperti ucapmu,” tangkis Papa.

“Belum, kan masih pemula. Tapi coba kau hitung dengan gajimu. Tentu lebih enak ini bukan? Cukup seminggu, kamu bisa terima sepuluh kali lipat gajimu,” ucap Supardi penuh gempita.

Papa terlihat berpikir sejenak, tidak berkata.

“Sini, kau terima dulu penghasilanmu minggu ini. Kerja kerasmu.”

Dalam sekejap, setumpuk uang berpindah dari tangan Supardi ke tangan Papa.

“Sepertinya ini kali terakhir, Di. Istriku tak tahu. Bisa habis aku kalau dia sampai tahu.”

Raut muka Papa sedikit kecut. Terus merunduk dan tidak menatap temannya.

“Tenang, Sob. Bukankah ini demi istrimu juga? Apa kamu tidak ingin memiliki rumah gedongan milikmu sendiri?” Supardi mendekat ke Papa. “Yang paling penting, kamu bisa cepat pensiun dini. Enak sekali hidupmu nanti, tinggal hidup mewah di rumah saja.”

Meski diucapkan lirih, aku jelas mendengar semua percakapan Papa dan temannya. Papa melempar pandangan, terlihat menimbang sesuatu.

Lihat selengkapnya