SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #10

Togel

Air mukanya tampak redum usai mengetahui sesuatu yang disembunyikan Papa. Tubuh Mama mematung. Rahang mengeras. Sisa melepas suara lantang meninggalkan jejak napas tak beraturan. Tidak ada cahaya keteduhan di mata indahnya. Semua kecantikannya terserap habis oleh rasa amarah. Badan yang tadinya berdiri tegap, nyaris melorot. Terselamatkan tangannya yang menyangga di ujung meja.

Meskipun dalam kondisi kaget, aku masih bisa menahan diri. Aku tak merespon apapun dari apa yang kulihat dan kudengar. Saka sama, tubuhnya hanya terguncang sedikit. Lalu bermain bebas kembali. Tidak menangis.

Papa yang masih berdiri di depan kamar mandi berjalan pelan ke arah Mama.

“Apa lagi ini, Pa?” Tangan Mama sibuk menjajar nota-nota kecil di atas meja. Masih dengan tangis tertahan, ia ambil beberapa lembar kertas yang telah disatukan dengan staples. Beberapa kertas warna putih, pink dan hijau dibolak-baliknya.

 “Dua-M, Pa? Dengan jaminan apa kamu ambil uang sebanyak itu?” Mama meletakkan kertas ke Meja. Jari telunjuk menunjuk ke sebuah tulisan. Secara berulang diketuk dengan telunjuk penuh penekanan. “Bagaimana bisa ACC tanpa sepengetahuanku? Persetujuanku?”

Papa tidak menjawab sedikitpun.

Mama menggeleng-gelengkan kepala. Mama meraupkan tangan kanan ke wajah dan berhenti di hidung. Tiga detik diam, lalu dengan telunjuknya menghardik Papa, “Gila kamu!”

“Semua demi kamu, Sayang. . .,” ucap Papa.

“Aku? A-ku?” Mama menunjuk diri sendiri dengan telunjuknya. Mama mengambil secarik kertas lain dari dalam laci. Laci kembali ditutupnya dengan dorongan kuat. Menyetrika lembaran kertas itu menggunakan tangan. “Lihat, berapa gajimu satu bulan. Lihat ini, berapa jumlah angsuran dalam sepuluh tahun yang kau ambil? Gajimu hanya separuh dari cicilan. Kamu pinjam ke bank atau rentenir itu?”

“Aku membeli aset. Dengan bisnis segitiga yang aku beli, kita bisa berpenghasilan tanpa bekerja. Aku bisa menutup hutang-hutang itu dari bonus aset-aset ini.” Papa mengambil beberapa kartu yang tercecer di meja. Ukurannya sebesar KTP milik Mama yang pernah kulihat.

Mama menghela napas panjang. Merebahkan tubuhnya ke kursi putar.

“Sejak kapan bisnis skema ponzi bisa diandalkan dalam sebuah bisnis? Kamu ditipu, Pa,” ucap Mama dengan nada melemah. Air mata yang sejak tadi ditahan, tak dapat lagi terbendung. Mengucur begitu saja.

“Supardi sudah membuktikannya. Kamu tahu sendiri, gajinya bisa dibilang hanya sepertiga gajiku. Namun, rumahnya begitu luas dan mobil eropa berplat AG 1 berjajar memenuhi garasinya. Ini bisnisnya, Ma.”

“Dengan Dua-M, kamu bisa membeli mobil itu tunai, Pa. Tidak dengan jalan bisnis bodong ini!” ucap Mama. “Lalu, nota-nota ini apa? Kamu bermain togel?”

Amarahnya kembali meliputi, Mama sapu kartu-kartu dan nota di meja hingga jatuh berserakan ke lantai.

Papa tampak bodoh dengan celana pendek yang ia kenakan. Tangannya masih memegang handuk yang basah. Bahkan Mama tak memberi kesempatan sedikitpun kepada Papa untuk mengenakan kaos dan celana yang layak. Papa merunduk dalam keadaan telanjang dada. Mama terus saja mengomel tanpa jeda.

Tanpa berkata. Papa mengambil vas bunga yang berdiri di atas meja berisi air, tujuh bunga mawar segar dan bunga sedap malam. Mengangkat cepat hingga tertarik ke atas kepala tepat di samping telinga. Reflek, Mama langsung terdiam, memejamkan mata dan melindungi kepala dengan kedua tangannya.

Pyarrrrr!!!!

Papa melempar dengan tenaga super. Vas bunga berbahan kristal pecah berkeping-keping setelah beradu dengan keras dan kokohnya bangunan bercat putih tulang. Percikan air membasahi dinding dan lantai sekitar.

Lihat selengkapnya