SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #11

Wanita Kuat

Dalam kepatuhan sering terselip sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan: rasa ingin tahu, harapan, pendapat, sudut pandang lain atau rasa takut. Diam merupakan perjuangan jalur tercepat merebut label bakti.

Sebab anak pintar bagi sebagian orang, bukan nilai sempurna yang ditulis dengan tinta hitam pada laporan belajar. Melainkan anak yang tak banyak menuntut, sehat, mengerti keadaan orang dewasa dan tidak banyak protes.

“Kamu tahu, Kamari. Kamu berbeda dari teman seusiamu. Sejak punya adik, secara signifikan kamu jadi anak yang mandiri. Bahkan, kamu tidak malu setiap pagi harus membawa makanan sehat untuk dijual di kantin sekolah,” ucap Mama bangga.

Jauh di dalam hati, tidak ada yang tahu terselip malu di dalam diriku. Bahkan, aku harus menutup rapat mulut untuk merahasiakan perasaanku sendiri. Aku harus berusaha datang paling awal di sekolah menghindari sorotan teman-teman.

Aku telah selesai menidurkan adik. Malam ini aku membantu Mama melumuri adonan daging yang sudah mengeras dengan telur, membalutnya dengan tepung panir.

Rasanya ingin kurebahkan badan, tidur bersama Saka tiga puluh menit yang lalu. Meskipun mataku sayu dan bahu terasa memikul beban puluhan kilo. Aku tak bisa menolak bisikan hati kecilku sendiri. Aku tetap masuk ke dapur dan berkutat dengan aroma bumbu dapur tanpa diminta.

“Besok Mama tinggal goreng, nugget-nya tolong kamu taruh di lemarin pendingin, Kamari. Cuci tanganmu dan segeralah istirahat.”

Aku menatap Mama─tanganku masih dipenuhi panir yang menempel. Mengangguk. Mama memang perempuan yang kuat. Kepadaku, tidak pernah keluar sedikitpun kata keluhan, kecewa atau amarah terhadap Papa. Dalam sudut memori ada sebuah ruang yang terjaga sempurna. Semua pemahaman aku simpulkan sendiri dari segala informasi dan kejadian tak sengaja. Sebuah ingatan dengan pemahaman sendiri dari apa yang kulihat, kudengar dan kurasakan.

“Kamu mirip sekali dengan Mama waktu kecil, Kamari.” Si Mbok bicara, memujiku.

“Apanya yang mirip, Mbok? Banyak yang bilang dia mirip papanya.”

“Dewasanya, mandirinya, pintarnya dan semua yang baik. Nduk Hayati awet cilik12 rajin bantu si Mbok di dapur. Eh, sekarang besarnya malah si Mbok yang jadi banyak belajar masak ke Nduk Hayati.”

Mama merunduk, tersipu malu.

Aku ingin merasakan bangun siang, datang ke sekolah dengan riang, disambut teman-teman yang telah datang duluan. Namun, alasan lain aku harus bangun pagi selain untuk bisa datang paling awal adalah agar bisa membantu Mama menyiapkan dagangan. Padahal, aku telah membantunya hingga larut malam seperti hari ini.

Aku hanya bisa diam, untuk merebut label bakti.

***

Setelah lama tidak bertemu dengan Tante Rani, Papa mengajakku berkunjung kembali ke tempat ini. Kendaraan roda dua diparkir Papa tepat di depan pintu. Rumah ini terlihat lebih segar. Kurasa cat temboknya baru saja diperbarui.

Sebelum masuk rumah, aku celingak-celinguk, mendongak ke seluruh penjuru, mencari bayangan anak-anak yang mungkin aku kenal. Aku tidak menemukan apapun.

Aroma ayam goreng yang merebak hingga depan pintu. Suara minyak panas yang mirip hujan lebat, menenggelamkan suara salam Papa yang mungkin tak terdengar pemilik rumah. Papa nylonong13 ke dapur, seolah rumahnya sendiri.

“Mas Suryo, sejak kapan di sini?” ucap Tante Rani kaget. Tangan kanannya masih memegang sutil.

“Masak apa? Sampai kering tenggorokanku manggil dari depan.”

Sorry, aku pakai headset,” ucap Tante Rani dengan senyuman manja. “Aku siapkan minum, Mas tunggu dulu di depan, ya. Bau. Malu.”

Dari belakang, tangan Papa mendarat ke kedua pundak Tante Rani. Pemandangan yang begitu jelas kutangkap dari ruang tamu karena rumah ini kecil.

“Jangan lama-lama, sudah nggak kuat!”

Tante Rani mencubit pinggang Papa. Disusul dengan senyum lepas Papa. Pemandangan yang lama tak kulihat di dalam rumahku.

“Nakal, ya! Minyak panas, nih.”

Papa menghindar dan meninggalkan dapur, setengah berlari ke ruang tamu.

Kuletakkan kotak seukuran koper kecil untuk membawa makanan sehat. Tak berisi apapun, karena semua habis terjual. Kutaruh kotak di sudut ruang agar tidak ada yang merasa terganggu.

Papa duduk dan aku mengikuti. Senyap. Tidak ada obrolan di antara kami dalam beberapa menit. Hanya denting jam dinding, pengisi suara ruang ini.

Lihat selengkapnya