SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #13

Sumber Ubalan

Bagai bunga layu kembali mekar setelah musim penghujan datang. Begitulah rona wajah Mama dalam beberapa hari ini. Hatinya seperti dipenuhi bunga-bunga indah layaknya bunga bermekaran di depan halaman rumah. Saat menyiram bunga, Mama selalu bersenandung ria. Beban di pundak yang selama ini ia tanggung, seakan luruh bersama air yang memancar dan terserap ke dalam tanah.

Papa tak jauh berbeda. Kulitnya semakin segar dan bersinar. Mataku kerap menangkap papa berjoget seirama dengan lantunan musik yang berkumandang dari radio Pak Agus─suami si Mbok. Meskipun tak pernah terlihat makan di rumah, makanan yang sering kami santap di Tante Rani. Sepertinya terserap sempurna hingga ke ujung rambut dan kukunya. Menjadi salah satu penyumbang terbesar energi Papa.

Satu bulan terakhir, itulah pemandangan yang setiap hari kulihat.

Hari Minggu kembali datang. Kali ini aku tidak tahu kemana perginya Papa. Yang kulihat, sejak pagi Mama sibuk menatakan bekal untuk adik yang sudah mulai mengenal makanan pendamping.

“Kamari, tolong masukkan baju adik tiga pasang ke dalam tas warna kuning.” Mama menoleh padaku. “Jangan lupa popok sekali pakainya dimasukkan juga.”

“Kita mau jalan-jalan, Ma?”

Mama mengangguk, “Iya, kita berdua. Adik kita titipkan ke si Mbok.”

"Asiiik, aku akan bersiap dengan cepat!" teriakku kegirangan.

Waktu Mama hampir terserap habis oleh pekerjaan rumah dan merawat adikku. Saat kudengar aku akan jalan berdua dengan Mama. Rasa bahagia meluap begitu saja. Aku telah lupa kapan terakhir kali diajak olehnya menikmati waktu di luar rumah hanya berdua.

“Hari ini kita kemana, Ma?” tanyaku penasaran.

“Ke Sumber Ubalan, setuju?”

Aku mengangguk.

Sewaktu mendengarkan penjelasan Mama tentang moda transportasi yang akan kami pakai, aku dapat membayangkan betapa intimnya perjalanan kami nanti. Jarak yang membentang sejauh 19 km, akan kami tempuh dengan delman langganan Mama saat pergi ke pasar.

“Kamu boleh bawa baju ganti, untuk bermain di air sumber. Tapi tidak Mama izinkan berenang di kolam renangnya, paham?” ucap Mama melayangkan kesepakatan.

“Iya, Ma,” jawabku mantab.

Seandainya keadaan hati dapat dilukiskan di atas kain kanvas, aku yakin hanya polesan warna-warna cerah yang akan mendominasi. Secerah pakaian yang aku pilih pagi ini.

***

Kendaraan roda empat berjajar di area parkir. Kami turun tepat di depan kotak tertulis loket yang dijaga oleh dua orang petugas. Pohon-pohon menjulang tinggi dan besar. Aroma segar dedaunan berhasil menerobos indra penciuman. Beberapa buah mahoni berbentuk bulat telur berwarna coklat, tercecer seperti kayu kering. Merekah, terpecah dengan biji-biji yang telah terlepas keluar.

Dua pasang mata berjalan mendekat. Dari gestur tubuh, aku sangat mengenalnya.

“Sudah sampai dari tadi, Say?” tanya Mama.

“Ehm, maybe five minutes. Tapi nggak pa-pa. Nunggu di sini sejuk,” jawab Tante Wulan sambil melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.

Meski seumuran, tak bisa dipungkiri Tante Wulan tampak lebih muda di banding Mama. Ia kenakan celana hitam di bawah lutut. Kaos putih dengan nama brand di sebelah dada kiri. Serta kacamata hitam yang trendy magkring di atas rambutnya. Kali ini ia tidak mengenakan high heels. Langkahnya tampak santai dengan sneakers logo centang.

“Yuk, masuk.”

Seorang lelaki membawa empat lembar tiket dan bersiap menggiring kami ke bibir pintu masuk. Tangannya reflek menyambar ke bahu Mama.

Wait-wait, aku benerin rambut sebentar,ucap Tante Wulan mengambil cermin dari dalam tas. Tante Wulan terlihat sibuk sendiri dengan rambut barunya yang dipotong sepundak.

Dengan tatapan tidak nyaman, Mama menepis rangkulan itu.

“Yang, anakku,” bisiknya.

Lihat selengkapnya