SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #14

Sayang

Lepas kejadian seorang nenek yang menghampiri kami. Tante Wulan enggan kemana-mana. Tangan menggengam kuat sebagai pengurang rasa takut. Menggerak-gerakan kaki tanpa disadari. Memilih duduk di bawah atap berbentuk piramid.

“Lihat, temanmu lucu sekali,” ucap Om Karim mencairkan suasana.

Dengan tatapan nyalang, Tante Wulan seakan tidak terima.

“Halah, kayak dia nggak pernah merasa takut aja. Ingat nggak? Waktu kita ada tugas cari tanah liat untuk tugas prakarya? Siapa yang sampai ngompol di celana? Lagaknya kayak yang paling pemberani!” sanggah Tante Wulan membela diri.

Tante Wulan dan Om Karim terlihat seperti kartun Tom and Jerry yang kerap aku tonton di teve.

Mencoba mengalihkan perdebatan, Mama menawari naik sepeda air.

Awalnya aku ragu. Ingin duduk dan menikmati kesejukan udara dan bunyi-bunyi alami dari hutan. Namun, Mama meraih tanganku. Dengan genggaman yang menghangatkan, Mama berusaha meyakinkan.

Seketika angan menerobos masuk ke dalam khayalan indah, memacu pedal sepeda berdua dengan Mama. Aku mengikuti dorongan hati mengikuti permintaan Mama.

Petugas tampak senang menyambut kedatangan kami. Beberapa lembar uang diserahkan ke petugas sebelum akhirnya kami berdua dipersilakan menaiki sepeda air.

“Adik masih terlalu kecil, kakinya belum sampai untuk mengayuh sendiri,” ucap petugas berseragam biru dengan topi senada.

“Tenang, Pak. Saya ikut serta,” ucap Om Karim yang ternyata menyusul kami dari belakang.

“Baik, Pak. Monggo15. Adik pindah ke sebelah sana, ya!” ucapnya sambil menunjuk.

Aku menoleh tempat yang dimaksud. Menuruti permintaan petugas, aku berpindah ke posisi tengah. Tepat di bagian leher bebek.

Perasaan campur aduk. Senang karena aku terselamatkan dari tenaga yang diperas untuk mengayuh. Sedih karena aku gagal kembali bermain berdua dengan Mama.

“Bila ingin belok kanan, tuas di tarik ke kiri. Bila ingin belok kiri, tuas di tarik ke kanan,” jelasnya memegang tuas yang berada di belakangku.

“Siap, Pak! Terimakasih.”

Tali pengikat dilepas. Perlahan sepeda air berbentuk bebek warna kuning berjalan maju.

“Kira-kira air ini dalam atau dangkal?” tanya Om Karim.

Hening sejenak, “Emm, Menurutmu?”

“Sepertinya, masih dalam perasaanku padamu,” jawab Om Karim dengan gelak tawa.

Mama ikut tergelak. Aku tidak.

Kolam ini tidak begitu luas dibanding dengan tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Kami hanya berkeliling memutari kolam, mengikuti bentuk kolam. Berjalan di tepian.

Lihat selengkapnya