SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #15

Mitos Daun Kelor

Laksana hujan batu saat gunung meletus. Gemuruh yang bersautan di udara dan larva panas yang siap memuntahkan ke segala penjuru. Begitulah suasana rumah saat Eyang Kakung mendengar hutang keluarga yang harus ditanggung oleh Papa. Suasana malam sama sekali tidak mendinginkan pikiran Eyang Kakung yang kadung diliputi rasa kecewa dan amarah.

“Ada banyak pilihan bank. Kenapa kamu harus pinjam uang ke lintah darat itu!”

Saka sudah bisa duduk dan merangkak ke sana kemari. Aku duduk di bawah, mengasuh Saka sekaligus menyaksikan langsung Papa yang mendapat penghakiman Eyang Kakung.

“Kalau aku pinjam uang ke Bapak, yakin Bapak akan memberiku?”

Raut wajah Kakek seketika merah padam, siap memuntahkan larva panas dari dalam tubuhnya.

“Bocah nggak tahu diri. Sudah untung kamu bisa kerja yang layak di perusahaan yang bapakmu pimpin. Salalu saja bikin ulah! Nggak tahu balas budi!”

“Itu terus yang selalu Bapak ungkit. Aku tidak pernah meminta semua ini.” Walau dituturkan dengan suara pelan, jawaban Papa terasa seperti bilah pisau yang berhasil menyayat hati Eyang Kakung semakin lebar. “Bapak mau aku terimakasih?" Hening sejenak. "Salah! Harusnya Bapak yang terimakasih padaku karena menyelamatkan ego Bapak yang selalu ingin dipuja dan dihormatiorang-orang.”

“Dasar kamu_”

“STOP!!!!” Terdengar suara teriakan seperti ledakan gunung meletus. Teriakan itu disertai gebrakan meja begitu keras.

Tangan Eyang Kakung sudah melayang di udara. Entah apa yang terjadi bila Eyang Putri tidak berteriak untuk menghentikan.

“Kenapa? Mau kau bela anak kurang ajar ini lagi!” ucap Eyang Kakung masih dengan amarah.

Eyang Putri semakin terisak oleh tangisnya sendiri.

Mama menyela. “Maafkan Hayati, Pak. Menyembunyikan semua ini dari Bapak. Bukan maksud Hayati untuk membuat malu keluarga!”

Dengan tatapan nyalang, aura kemarahan Eyang Kakung membuat lawan bicaranya semakin ciut.

“Sudah kubilang, aku tidak tahu menahu tentang kopi. Tentang cara merawatnya, mana biji terbaik, bagaimana memasarkannya. Aku tidak tahu, semua ini bukan keahlianku dan bukan kemauanku,” ucap Papa lirih. “Apa Bapak pernah bertanya, tentang keadaanku di kantor?"

"Aku tahu Bapak selalu membereskan apapun kesalahanku di sana. Sekecil apapun itu, Bapak selalu mencoba membereskannya sendiri. Membuatku semakin tidak ada harga diri dan dianggap sampah oleh bawahanku! Bapak tidak tahu itu, to?” sambung Papa.

Tubuh Eyang Kakung yang tadi tegap berdiri, seketika merosot ke kursi. Ledakan-ledakan perasaan dalam diri yang telah ia muntahkan, membuat energinya habis. Material itu seolah menyerang balik ke dalam tubuhnya.

“Lalu apa kaitannya pekerjaan yang tidak kamu cintai dengan hutang keluarga ini yang nyaris menyentuh angka 3-M, Suryo?” tanya Eyang Putri dengan tangis yang masih meliputi.

Mama tidak angkat bicara. Ia mendekap erat tubuh Eyang Putri yang tak kalah lunglainya dengan sayur kangkung yang disiram air panas akibat mendengar kabar ini.

“Kau buat apa uang 3-M itu?” tanya Eyang Kakung datar.

“Aku hanya pakai 2-M untuk kesenanganku. Aku tidak tahu mengapa begitu cepat jadi 3-M hanya dalam hitungan bulan!” jawab Papa tanpa dosa.

Lihat selengkapnya