SUWUNG

Faiq Mufidah
Chapter #16

Lodeh v.s Lele

Kerumunan warga kembali memenuhi rumah Eyang Kakung. Bila kemarin malam dipenuhi orang berdatangan membawa doa kesembuhan. Pagi ini, beberapa orang datang membawa beras serta doa penguatan bagi kami yang ditinggalkan. Tepat pukul tiga dini hari, Eyang Kakung mengembuskan napas terakhirnya.

Aku masih tidak menyangka. Eyang Kakung yang kemarin terasa kuat menggendongku dan menuruti apapun yang aku mau. Kini terbujur kaku berbalut kain kafan di dalam keranda mayat.

Kesedihanku masih sama, tidak bertambah ataupun berkurang. Bagiku masih terasa sama sejak Eyang Kakung tidak sadarkan diri di rumahku. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda. Saat empat orang mulai mengangkat keranda dan berdiri tepat di depan pintu gerbang rumah Eyang Kakung.

Sae nopo awon?16tanya Mudin kampung.

“Sae17,” jawab semua pelayat.

Pertanyaan dan jawaban yang diulang sebanyak tiga kali. Lalu sang pembawa payung di depan mulai berjalan disusul pembawa keranda dan para pelayat.

Tangisku tumpah saat rombongan pengantar jenazah bersautan mengucapkan kalimat tahlil. Aku yang dianggap masih terlalu kecil, dicegah untuk ikut mengantar ke peristirahatan terakhir Eyang. Menghindari sawan kata tetua.

Kerumunan yang memadati halaman rumah berangsur sepi. Tersisa air mataku dan segala kenangan manis bersama Eyang Kakung. Hal yang baru kusadari, inilah hari terakhirku melihat tubuh orang yang paling aku sayang.

“Eyaaaaaaaaaaaaang,” teriakku saat keranda dan bayangan orang di belakangnya tidak nampak lagi terlihat.

Aku mencoba berlari menyusul. Namun, tubuh orang dewasa yang tidak aku kenal. Memiliki kekuatan lebih untuk tetap menghadangku ikut ke pemakaman. Aku semakin sadar, tak akan bisa bercanda tawa lagi dengannya.

***

Kematian Eyang Kakung menyeret kami ke dunia yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Eyang Putri, menjual semua aset yang ia punya demi meringankan hutang-hutang Papa. Rumah pribadi yang masih dalam proses pembangunan, ia hentikan. Eyang Putri membiarkan rumahnya separuh jadi. Ia menerima takdir hidupnya bertahan hidup dengan pesangon yang diterima dari perusahaan.

Keputusan yang menurutku tak masuk diakal. Papa memutuskan berhenti dari pekerjaan yang selama ini mencukupi kehidupan kami. Papa lebih memilih menjadi wiraswasta dibanding bekerja di bawah perusahaan ternama dengan jabatan yang mentereng. Katanya, dia tak mau lagi hidup dalam tekanan atasan dan hinaan bawahannya.

Mundurnya Papa dari pekerjaan, membuat kami sekeluarga terpaksa harus angkat kaki dari rumah dinas yang kami tempati bertahun-tahun. Beralih dari rumah gedongan berarsitektur Belanda, ke rumah tua di kampung. Tempat Mama di besarkan. Rumah yang telah lama tidak dihuni sejak orang tua Mama meninggal.

Rumah ini tidak bisa dibilang besar. Namun, juga tidak terlalu kecil.

Masih tersisa ruang untuk memarkir satu mobil dan menanam bunga di halaman rumah. Terdapat dua ruang kamar. Masing-masing berukuran 3x3 meter. Di bagian belakang rumah, dapur dan kamar mandi menjadi satu ruangan. Tidak ada lagi kamar mandi di dalam kamar tidur.

Minggu pertama, kami habiskan untuk membersihkan rumah dari debu-debu dan menata ulang perabotan. Ruang yang menjadi fokus utama kami untuk dibersihkan adalah kamar tidur, dapur dan kamar mandi.

Minggu kedua, Mama membersihkan taman dan mulai menanaminya dengan bunga-bunga. Beberapa tanaman gantung di teras rumah tak ketinggalan juga. Sebagai penghias depan rumah, karena saat ini kami tidak lagi memiliki mobil. Selebihnya, hari ke hari gotong royong membersihkan sudut demi sudut secara bertahap.

Si Mbok dan suami tidak lagi bekerja dengan kami. Karena alasan ekonomi yang menghimpit kelurga ini, si Mbok mafhum akan keputusan besar yang diambil Papa. Meski tidak lagi bekerja pada kami, si Mbok masih sering datang berkunjung sekadar mengirim makanan dan membantu merawat Saka.

"Gimana tinggal di rumah masa kecil Mama? Ini jauh lebih baik dibanding masa kecil Mama dulu."

Lihat selengkapnya