Gadis ini menundukkan tatapannya saat saya ajak bicara. Bila menjawab pertanyaan saya, ia tak pernah menatap langsung mata saya. Ia hanya melirik-lirik ke arah saya. Jika tidak sedang melirik saya, tatapannya seperti kosong. Atau kali lain, ia akan menoleh ke jalan entah mengindahkan apa lalu kembali menundukkan tatapannya atau menatap ke kekosongan. Jika ia malu karena keadaan wajahnya, itu tentu tidak masuk akal. Saya lihat, wajahnya tidak cacat. Pasti ada alasan lain. Maka, saya pun iseng memancingnya dengan topik lain untuk membuatnya nyaman.
“Apakah Anda tahu kalau pabrik kertas depan situ terancam bangkrut?” tanya saaya sengaja sok tahu dan sok akrab sambil menggandakan dokumen yang telah ia kasih ke saya.
“Iya, tah?” jawabnya sambil melirik.
“Oh, iya. Konon pemiliknya terjerat hutang. Mungkin tak lama lagi akan kukut.”
“Iya, tah?” tanyanya masih melirik.
Mungkin ia heran dari mana saya dapat informasi semacam itu. Tapi desas-desus yang beredar memang seperti itu. Mungkin pula ia hanya sekedar menanggapi saya demi menyenangkan saya. Tapi saya tak peduli dan berusaha memancingnya dengan pernyataan dan pertanyaan yang memaksanya untuk bicara lebih banyak dari sekedar iya, tah? Tapi, sebentar! Logat itu seperti bukan logat sini.
“Anda pasti bukan asli sini!”
“Mas kok tahu?” katanya masih melirik.
Saya hanya tersenyum dan bertanya, “Kuliah di mana?”
“Malang, mas.”
“Jurusan?”
“Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.”
“Wah, tahu Pramoedya Ananta Toer dong?”
“Siapa, ya?”
“Itu tuh, penulis Indonesia satu-satunya yang pernah dinominasikan Nobel Sastra.”
“Nobel Sastra?”
“Itu lho penghargaan paling bergengsi di dunia sastra.”
“Baru tahu. Saya tahunya Mira W. Skripsi saya seputar beliau.”
“Wah, ‘Dari Jendela SMP’ pasti!”
“Loh kok tahu?” kali ini ia berani menatap saya dan mengernyitkan wajahnya sambil sedikit tersenyum.
Mungkin ia heran saya bisa menebak dengan jitu. Tapi itu tidak begitu penting. Yang penting saya senang bisa membikinnya mulai sedikit terbuka. Meskipun demikian, untuk membuka seluruh kedoknya, itu tentu tak cukup. Maka saya beranikan diri buat meminta nomor kontaknya ketika akhirnya pesanannya selesai dan ia hendak pamit.
“Yah, siapa tahu kita bisa diskusi tentang Mira W. lebih lanjut,” kilah saya.
Ia hanya senyum semili melirik saya. Tapi ia bacakan juga satu deretan angka kepada saya. Dan sebelum saya usai menambahkannya ke daftar kontak saya, ia bergegas keluar toko. Langkahnya pendek-pendek tapi cepat sekali seperti terbang berkelebat tak memijak tanah. Sambil masih tetap menundukkan tatapannya, ia mengambil helm dan memakainya dengan sedikit mendongak dan melirik saya sekilas dan saya balas dengan senyuman sebelum kemudian ia mengambil kunci motor dari dalam tas, memutar kontak motor, dan lekas melesat dari tempat parkir seperti dikejar hantu.
Tapi, mana ada hantu di siang bolong macam ini? Saya kira tidak ada. Justru tingkah polah gadis inilah yang mulai menghantui saya. Matanya yang plirak-plirik kalau bicara. Senyum semilinya. Langkahnya yang tergesa-gesa dan melesat berkelebat tak memijak tanah. Tapi, persetan dengan hantu! Hsh! Hsh! Pergilah dari kepala saya! Tapi, seluruh resam tubuhnya malah semakin terbayang jelas bikin wajah saya jadi panas. O, tidak! Kenapa pula saya meminta nomor kontaknya segala? Saya seperti sedang memantik api. Tapi, itu kan hanya iseng? Hanya satu keisengan dari sekian keisengan-keisengan yang pernah saya lakukan selama ini. Keisengan-keisengan dari manusia yang tak memiliki motivasi dan tujuan hidup yang jelas seperti saya. Memang bagi saya, hidup cukup diterima dan dijalani tanpa terlalu repot menyesali yang sudah dilalui atau cemas membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi, kali ini saya harus repot dihantui gadis yang suka menundukkan tatapannya dan suka plirak-plirik itu. Saya melihat ia berkelebat di jalan depan situ dan menghilang ditelan angin. Saya hendak memeriksa mesin pengganda, justru gadis itu sedang sibuk menggandakan dokumen sambil bersenandung. Saya lihat poster Marylin Monroe di dinding berubah jadi gadis itu yang plirak-plirik sama saya. Saya lepas kaca mata saya, dan saya kucek mata saya. Saya tak habis pikir. Barangkali karena rasa penasaran saya sendirilah yang kemudian mengundang hantu gadis itu bermain di benak saya.
Beruntung kemudian ada serombongan pemuda yang mampir dan ingin menggandakan dokumen. Mereka ini rupanya para pencari kerja. Tentu saja saya kembali menjadi manusia robot yang menerima kertas-kertas dokumen dari mereka satu per satu, menggandakannya ke dalam mesin, dan mengembalikannya kepada pelanggan yang saya tak pernah tahu apakah ucapan terima kasih mereka itu tulus atau hanya sekedar formalitas, sama seperti semua hal yang saya lakukan. Meskipun begitu, itu semua tetap memang saya lakukan juga. Yah, namanya juga manusia hidup yang butuh uang. Dari mereka saya dapat uang. Dari saya, mereka dapatkan apa yang mereka butuhkan. Saya kira itu merupakan hubungan yang cukup adil. Dan dengan begitu, saya bisa teralihkan dari hantu gadis yang suka plirak-plirik itu.