SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #2

2

2.

 

“hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah”1

 

Saya tidak sepesimis itu. Meskipun begitu, saya juga tidak begitu optimis. Saya hanya sekedar menjalani hidup saya secara wajar. Memang benar, saya kadang seperti terasing. Namun, saya akan cepat bisa kembali pada kenyataan. Saya cukup menghentikan pikiran saya. Karena saya tahu, pikiran yang suka melayah adalah sebab paling utama saya terbang pada angan-angan yang jauh tak terjangkau pada alam antah berantah. Setelah itu, saya akan membuka mata saya dengan benar dan berpegang pada apa yang paling dekat dengan saya yang paling mungkin saya lihat dan saya pegang. Biasanya saya akan melihat dan memegang napas saya, karena bagi saya napaslah yang paling dekat dengan saya. Dengan melihat dan berpegang pada napas saya, maka saya menyadari bahwa sesungguhnyalah saya harus menjadi makhluk utuh secara fisik dan psikis. Oleh karena itu pengembaraan batin yang tak begitu penting sudah selayaknya disudahi. Saya hanya harus menjalani dengan sepenuh-penuhnya apa yang ada di depan mata. Jika itu saya laksanakan dengan sebaik-baiknya, saya yakin saya tak akan pernah menyesal. Dan jika pada akhirnya nanti saya harus berakhir, saya tak akan menganggapnya sebagai satu kekalahan atau sebagai tanda bahwa saya telah menyerah. Namun, saya pastikan bahwa saya tetap akan baik-baik saja seperti biasa, karena memang sudah seharusnya seperti itu. Seperti sungai bertemu laut.

Namun begitu, apakah menunggu merupakan bentuk lain dari menunda kekalahan? Sudah semenjak pagi saya menantikan hadirnya si gadis tukang plirak-plirik. Tapi sampai matahari hampir tergelincir ke ufuk barat sana, belum juga nampak batang hidung si gadis tukang plirak-plirik itu. Mungkin ini bukan sekedar menunda kekalahan, tapi memang sebuah kekalahan yang nyata. Apakah saya menyesal telah memberikan arti yang lain dari keinginannya hendak mampir ke toko saya? Apakah saya telah berharap dan kini menyesal? Dengan pertanyaan terakhir itu, saya akhirnya sadar bahwa saya harus kembali pada kenyataan. Maka saya pejamkan mata saya sambil menarik napas dalam-dalam sambil melenyapkan sebait sajak itu dari benak saya dan mengakhiri keinginan untuk bertemu dengan gadis yang suka plirak-plirik itu. Setelah itu, saya buka mata saya dan melepaskan napas saya secara perlahan. Setelah merasa tenang dan lega, saya lalu mengambil telepon genggam untuk melihat jam. Masih ada sekitar sepuluh menit sebelum saya tutup toko saya. Saya beranjak menggapai sapu di pojok toko. Pikiran dan tubuh saya akhirnya saya curahkan sepenuhnya pada kegiatan menyapu lantai toko. Saya tak pernah menyepelekan kegiatan yang satu ini, karena saya sadar bahwa kebersihan toko adalah hal yang sangat penting. Toko yang bersih membikin saya betah berada di dalamnya. Para pelanggan tentu akan merasa nyaman saat berada di toko saya. Paling tidak mereka akan mendapatkan kesan yang menyenangkan. Dan itu menjadi satu poin tersendiri. Mereka akan menandai dalam benak mereka bahwa toko saya adalah toko yang bersih dan nyaman. Itu akan membikin mereka tidak sungkan dan senang untuk kembali lagi ke toko saya dengan membawa pesanan yang lain. Mungkin juga mereka akan membagikan pengalaman menyenangkan mereka selama berada di toko saya yang bersih kepada rekannya. Itu tentu akan menarik pelanggan baru. Dengan begitu, secara tidak langsung saya telah diuntungkan.

Rupanya sebelum keuntungan lewat jalan berliku semacam itu datang pada saya, bahkan saya mendapatkan keuntungan yang lebih cepat dan dekat datangnya. Saat saya khusyuk menyapu trotoar depan toko, saya dikejutkan oleh suara motor yang seperti tak asing di telinga saya yang kemudian berhenti di pinggir jalan.

“Hai,” ia, si gadis tukang plirak-plirik itu, turun dengan tergesa dari motornya dan menyapa saya dengan sedikit tersenyum dan menundukkan tatapannya. Ia membuka helm dan mengibaskan rambutnya. Wajahnya tampak berkeringat. Ia menyeka dengan punggung tangannya.

Saya berusaha mengendalikan degub jantung saya yang berlompatan. Namun, akan memalukan jika saya memperlihatkan kegembiraan saya. Maka, saya hanya senyum padanya dan membalas secara wajar.

“Hai,” kata saya.

“Untunglah masih buka. Apakah saya masih bisa menggandakan dokumen?” tanyanya dengan tatapan tunduk dan plirak-plirik yang sama.

“Oh, tentu saja. Mari, silakan!”

Kami beriringan berjalan ke toko. Saya di depan, ia di belakang. Saya masuk, ia berhenti sampai di depan etalase. Saya letakkan sapu di pojok toko.

“Mas, ini kucing siapa?” tanyanya.

“Oh, itu kucing saya. Ia memang suka molor begitu,” jawab saya sambil berjalan kembali ke depan. Saya lihat ia sedang mengelus-elus si kembang telon.

“Mana dokumennya?”

“Auw,” ia menjerit dan menarik tangannya. Rupanya si kembang telon tak suka dielus olehnya. Atau mungkin kucing itu kaget. Si kembang telon mengiau seperti marah. Sepertinya ada kesalahpahaman atau sesuatu yang tak saya ketahui tepatnya. Si kembang telon seperti menantang si gadis tukang plirak-plirik sambil mengiau geram.

“Hus!” Saya berusaha meredam si kembang telon. Tapi si kembang telon terus menggeram.

“Maafkan kucing saya,” kata saya tak enak. Alhasil, si gadis tukang plirak-plirik mundur beberapa langkah dari etalase sampai tengah trotoar. Sementara itu, saya berupaya terus untuk meredakan si kembang telon sambil mengelus-elus tubuhnya.

“Kakang! Tak boleh begitu!” kata saya pada si kembang telon.

“Kakang? Kakang siapa?” tanya si gadis tukang plirak-plirik kebingungan.

“Ini, nih,” kata saya sambil menunjuk si kembang telon dengan dagu.

“Nama yang aneh,” si gadis tukang plirak-plirik malah menahan geli. “Sini, sini, pus, pus,” tambahnya sambil berupaya mendekat pada si kembang telon. Akan tetapi, si kembang telon malah berusaha mencakarnya sambil mengiau geram.

Si gadis tukang plirak-plirik berhenti, tapi tidak merasa marah.

“Lucu, imut,” kata si gadis tukang plirak-plirik. Saya merasa tak enak hati. Saya gendong si kembang telon dan membawanya agak menjauh ke trotoar. Si kembang telon tetap mengiau geram, tapi manut juga. Akhirnya saya taruh di trotoar dan menyuruhnya untuk menghindar sebentar.

“Maafkan, ya,” kata saya pada si gadis tukang plirak-plirik.

“Nggak papa,” katanya sambil tersenyum dan membuka tas untuk mengambil dokumen.

“Dari mana?” tanya saya keceplosan karena penasaran.

“Oh, itu. Oh ya, tolong dokumen ini digandakan dua puluh lembar, ya?” Ia tak menjawab pertanyaan saya, tapi malah meyuruh saya. Sementara itu, si  kembang telon diam setengah berdiri di tengah trotoar dengan ngiau geram dan mata tajam menyorot pada si gadis tukang plirak-plirik. Saya ambil dokumen dari tangan si gadis tukang plirak-plirik dan membawanya ke mesin pengganda. Kami berdua dan bertiga dengan si kembang telon kemudian hanya saling berdiam diri menunggu mesin pengganda bekerja. Mungkin karena canggung. Yang jelas saya merasa tak enak sama si gadis tukang plirak-plirik atas tingkah si kembang telon, dan juga senang dan penasaran atas kehadiran si gadis tukang plirak-plirik di saat-saat terakhir saya hendak menutup toko saya. Mungkin si gadis tukang plirak-plirik sendiri merasa malu sama saya karena terlihat terburu-buru ingin cepat sampai ke toko saya.

Penggandaan dokumen telah selesai. Saya ambil, saya tata, dan saya masukkan ke dalam plastik untuk kemudian saya bawa kepada si gadis tukang plirak-plirik.

“Ini untukmu karena telah menepati janji,” kata saya sambil mengulurkan plastik itu padanya.

“Lho, mas, siapa yang telah berjanji pada siapa? Jangan begitu dong. Nanti masnya rugi,” katanya.

“Hish. Terima saja. Jangan banyak komentar,” imbuh saya.

“Jadi kapan kita bisa bicarain Pramoedya Ananta Toer?” ia malah bertanya sambil menerima bungkusan plastik itu.

“Pramoedya Ananta Toer atau Mira W.?” saya tanya balik.

“Chairil Anwar?” Ia balik bertanya lagi.

“Afrizal Malna,” saya jawab serampangan.

“Sylvia Plath,” ia mengajukan banding.

“TS. Eliot,” jawab saya serampangan.

“Deal!” jawabnya.

“Deal!” balas saya.

“Kapan?” tanyanya.

“Habis ini di kontrakan,” jawab saya.

Ia nampak kaget dan berpikir sejenak.

Lihat selengkapnya