3.
Though we have got to work like a slaves
Just to eat a piece of bread
But as we go along each day
We’ll find happiness to soothe our mind 1
Untuk itulah saya bekerja. Hidup memang dapat memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.2 Tapi, orang tak mungkin diam saja seperti patung. Jika ia hanya diam saja dan menerima pemberian tangan orang lain, itu menyalahi hukum alam. Jikapun ia berdalih bahwa ia bahagia dengan perilaku semacam itu, saya yakin kebahagiaannya itu hanya semu semata. Sebab, ia hanya memanen tanpa menanam. Bagaimana mungkin orang akan memanen bila tak menanam? Tentu saja orang harus mendayagunakan segenap kemampuannya untuk menanam dan kemudian mengkonversikannya menjadi keuntungan bagi dirinya. Dari situlah kebahagiaan yang sesungguhnya terasa sempurna.
Dengan bekerja, saya memang bisa merasakan ketenangan. Saya seperti memiliki pegangan. Meskipun yang saya pegang itu bukan kata kerja, tapi uang. Meskipun uang yang saya pegang tidak melimpah. Tapi sampai saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan saya.
Tentu saja saya tak menganggap bahwa hal semacam itu adalah satu perbudakan. Untuk adat yang berlaku dalam hidup manusia sekarang ini, hal semacam itu biasa disebut sebagai kewajiban. Namun, lebih dari itu, saya menganggapnya sebagai suatu keharusan yang memang wajar terjadi. Jadi, saya pun melakukannya dengan sepenuh kesadaran dan kemampuan saya. Tapi tetap santai, tidak ngoyo.
Saya memang cukup tenang dengan adanya uang yang saya peroleh dari pekerjaan saya menggandakan dokumen orang-orang. Namun, bukan berarti saya juga tak pernah merasakan kegelisahan. Karena saya, seperti orang lain juga berhubungan dengan orang lain lagi yang tentu memunculkan pertalian dan atau keterputusan. Maksud saya sederhana saja sebenarnya, saya merasakan kegelisahan karena si gadis tamu saya tak ada kabarnya sampai dua hari ini. Tak ada pesan, tak ada story WA. Pesan yang saya kirim cuma centang satu. Ia juga belum mampir toko saya. Saya juga tak melihat ia berkelebat di jalan depan toko saya. Satu kali saya melihat gadis dengan sweater merah melenggang di jalan saat saya jalan pulang. Namun, saat saya cegat dan berpaling, ternyata orang lain. Saya mendengar gumamannya membacakan satu baris sajak di samping saya saat saya tidur-tidur ayam di kursi toko saya saat jam istirahat. Saat saya terjaga, tak ada sesiapa. Saya mencium aroma tubuhnya saat saya rebah terbaring di ranjang. Saya seperti terikat dengan si gadis tamu saya itu demikian kuat. Saya jadi agak banyak melamun. Saya tak mengira akan menjadi begini jadinya. Padahal, tahu namanya saja belum. Padahal, saya tahu kalau si gadis tamu saya itu ada punya masalah dengan hidupnya. Sungguh, sedikit rasa penasaran dan sedikit keinginan untuk mengetahui masalahnya itu cuma membikin saya merana. Karena ia kini tak ada dan tak bisa dihubungi pula.
Tapi saya kemudian menyadari bahwa memang beginilah akibat dari satu tindakan untuk mengikatkan diri. Ketika ikatan itu lepas, maka hanya akan menyisakan rongga kekosongan. Kekosongan yang minta diisi dengan ikatan yang tak lagi bisa menyatu. Yang muncul kemudian hanya kegelisahan. Bukan ketenangan.