SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #4

4

4.

 

Semakin bebas seseorang, maka akan semakin kesepian,

karena yang namanya bebas berarti tidak terkait dengan yang lain.

-         Dr. Fahruddin Faiz.

 

 Hari Minggu pertama bulan Juli saya habiskan buat menatap gunung Merapi sambil mengudap jagung bakar pedas dan tentu saja menyesap jahe susu. Berada di depan puncak gunung yang menjulang itu dan di antara keluasan bukit-bukit hijau serasa diri tak ada apa-apanya. Langit juga serasa mengurung membikin saya makin tambah kisut. Tapi, di ujung kekisutan ini, saya merasa beruntung bahwa saya dapat menemukan diri saya yang lain. Diri saya yang selama ini saya tekan-tekan oleh karena harus membikin penawaran dengan orang dan benda lain. Misalkan, oleh karena seseorang tak mempunyai uang yang cukup untuk membayar pesanannya, maka saya harus merelakan hak saya diambil secara halus oleh orang itu. Memang saya kadang bilang, “Gapapa, saya ikhlas. Ambil aja,” tetapi, diri saya yang lain yang tak nampak pasti akan bilang, “Buset, orang kok maunya gratis. Rugi dong saya!” Nah, sekarang ini di hadapan semua kebesaran dan keluasan yang menghimpit dan menekan ini, saya pun secara serta merta berupaya untuk melepaskan kata-kata yang seharusnya dikatakan oleh diri saya yang lain yang tak sempat dikatakannya kepada orang atau benda lain yang pernah membikinnya rugi.

“Su kabeh,” kata saya. Tentu hanya menggumam karena tak mungkin saya tiba-tiba teriak di antara orang-orang yang sedang berkasih-kasihan dan berdarma wisata di Gardu Pandang ini. Saya jelas tak mau dianggap orang sinting yang mengganggu acara mereka orang banyak. Yah, beginilah resiko hidup itu. Niatan mau mencari katarsis, tetap saja tak bisa lepas dari bertemu orang dan benda lain. Kan memang hidup ini diciptakan untuk menjalin hubungan dengan orang dan benda lain? Meskipun itu hubungan dalam bentuk minimalis semacam sekarang ini, di mana saya musti menjaga mulut saya dari berkata kotor agar tak mengganggu acara orang lain. Mau bagaimana lagi?

Saya hanya menggumam panjang pendek seperti Mbah Reksa, tapi dalam kadar dan volume yang lebih rendah dan lirih. Tentu saja jangan sampai orang lain tahu. Sesekali saya plirak-plirik seperti maling. Pokoknya acara menggumam atau lebih tepatnya mengumpat ini hanyalah rahasia antara saya dengan diri saya sendiri. Saya jadi teringat si gadis tukang plirak-plirak itu lagi. Apa tepatnya rahasia di balik plirak-pliriknya itu? Tapi, persetan dengan orang lain! Orang lain adalah neraka!1

Lihat selengkapnya